Pelukan Pesan

8.8K 1.2K 94
                                    

Semuanya terasa nyata. Ketika usungan itu sampai, ketika mayat diturunkan ke liang lahad, ketika wajahnya dihadapkan ke tanah, ketika diazani, dan ketika tanah mulai menimbun, semua itu bukan mimpi.

Hati Laudya menjerit ketika matanya melirik tulisan di atas nisan. Ayyash Rama Elisafan bin Yasha. Di sana juga tertulis tanggal lahir dan hari kematiannya, yakni kemarin.

Semalam, menurut rencana yang dicetuskan——mendiang——Ayyash, selain menyelamatkan Laudya, mereka harus membawa Livia ke bui. Desta bertanggung jawab dalam perekaman bukti dan membawa Laudya, sedangkan Livia adalah bagian Ayyash. Kalau dalam lima menit Ayyash tak muncul, maka Desta dan Laudya harus ke kantor polisi secepatnya.

Ternyata sial! Rencana tak berjalan mulus sebab baru juga sampai di lantai satu, Desta sudah mendengar derap kaki dua orang. Tentu saja Desta bingung. Kalau ia masuk ke mobil dan menunggu Ayyash, waktunya terlalu sempit. Jadi ia pun berinisiatif menarik Laudya ke sudut lantai untuk sembunyi. Saat itu fokusnya hanya 'serahkan bukti ke kantor polisi dan selamatkan Laudya bagaimanapun caranya!' Sehingga ketika Ayyash dikejar Livia memakai mobil, juga keduanya dilindas kereta, Desta hanya bisa mematung.

Menurut penyelidik, Ayyash dinyatakan tewas sebelum bantuan datang. Dan Livia, entah kenapa ia malah selamat. Belum ada kabar lanjutan mengenai dirinya selain tengah menjalani operasi. Semoga saja ia cepat sadar. Entah dari kondisi kritis maupun dari kesalahannya. Agar bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Ayyash ... "

Pandangan Laudya tertuju pada sosok yang memanggil nama itu. Itu Shofi. Matanya bengkak sejak kemarin, bahkan sudah dua kali dirinya jatuh pingsan.

Meleleh air mata Laudya untuk sekian kali. Tak menyangka kalau kemarin adalah saat terakhir melihat wajah Ayyash.

Oh, Ayyash...

Mereka belum sempat baikan. Bahkan Laudya belum minta maaf, juga berterima kasih atas segala jasanya selama ini.

"Biarin Ayyash tenang, Shof." Alvian berbisik pada istrinya ketika beberapa orang mulai pergi.

Shofi menangkup wajah ke dada Alvian. Air matanya tumpah ruah, bahunya naik turun, dan lirihannya menyayat siapa pun yang mendengar. Ia tersedu lagi. Terluka lagi.

"Kenapa Ayyash duluan, Mas?" isak Shofi. "Aku, kan, kakaknya."

Alvian mendekap tubuh Shofi sambil menahan gejolak emosi. Ia adalah laki-laki. Sekuatnya harus menahan tangis. Jangan cengeng!

"Dulu waktu Papi pergi, Ayyash bilang ingin mati juga. Sekarang aku ngerti perasaan dia, Mas."

Shofi tak bisa menghentikan bulir-bulir di mata. Dadanya seperti ditikam, kepala berdenyut-denyut, dan kalau tangis ditahan maka kerongkongannya seakan-akan diranggas sesuatu yang tajam.

"Ayyash ... kenapa kamu tega ninggalin Mbak?"

Berderai lagi air mata Laudya. Napasnya terasa tersendat. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di kerongkongan. Membuat sesak, membuat tak kuasa menahan menangis.

"Pertama Mami, lalu Papi. Dan sekarang kamu. Kini Mbak sendirian, Ay."

Semakin lama tangis Shofi makin nyaring. Terasa sekali kepiluannya yang begitu dalam. Ia sudah menutup mulut, tetap saja tangisan itu mengundang air mata orang-orang di sekitar. Tak terkecuali Alvian. Setelah berjuang mati-matian menahan tangis, mata lelaki itu akhirnya pecah juga. Jadilah mereka menangis bersama sambil berpelukan.

*
*
*

"Dia memang melakukan kesalahan, tapi naluri dokternya tetap ada." Seorang perawat berujar pada Laudya.

FilantropiWhere stories live. Discover now