Janggal yang Bertambah

24.3K 2.8K 103
                                    

Ini bukan mimpi! Yang terbujur di atas brankar itu memang Dion. Sahabatnya! Demi Tuhan, ia begitu mengerikan. Mata yang terpejam, muka pucat penuh luka, bibir kering, dan tubuh berupa tulang dilapisi kulit.

"Dion ... " Laudya berusaha menyembunyikan tangis, tapi tak bisa. Sekalipun membekap mulut, buliran air terus mengucur deras.

"Biarin Dion tenang, Dya." Livia mengusap punggung sahabatnya.

Laudya tak mengindahkan nasihat Livia. Bulir di sudut matanya makin banyak. Dadanya terasa diperas kuat-kuat, membuatnya merasa sangat sesak.

"Makasih, Dya. Gue janji, ini terakhir kalinya gue susahin lo."

Laudya ingat kata-kata tersebut. Serentetan kalimat yang diucapkan Dion di hari terakhir mereka bertemu. Dan rupanya ungkapan itu memang terbukti. Dion tak akan menyusahkan Laudya lagi. Dion menepati janji terakhirnya.

Memang Dion bukan manusia baik. Bukan pria panutan. Bukan masyarakat teladan. Bukan pula mayat yang pantas ditangisi sebab titelnya hanya sampah masyarakat. Tapi Dion adalah sahabat sekaligus kakaknya. Sebejat apa pun di mata orang-orang, Laudya yang paling tahu seperti apa sahabatnya ini.

Laudya ingat kalau dulu Dion begitu baik. Selalu melindungi dan menjaga. Dion juga menemani kesepian Laudya setiap kali rindu sentuhan keluarga.

"Di, kamu tahu nggak kenapa ibu Dya nggak pulang-pulang?" Memori Laudya terbang ke kejadian beberapa belas tahun lalu.

"Ibu kamu kerja, Dya. Nanti pasti pulang. Kamu yang sabar, ya."

"Oh iya, Di. Jablay itu apaan, sih?"

Dion yang kala itu berumur sepuluh tahun menatap sahabat adiknya lurus-lurus. "Kok, kamu ngomong gitu? Siapa yang ngajarin?"

"Tetangga pada bilang ibunya Dya jablay. Ada yang juga yang manggil pelacur, jalang, dan tukang seks." Laudya berujar polos. "Terus juga, katanya Dya bukan anak Bapak. Ibu hamil dari cowok lain."

"Kamu jangan ngomong kayak gitu!" Dion memegang bahu Laudya lalu memastikan tatapan mereka saling berpegangan. "Mulai sekarang, Dya jangan dengerin kata-kata orang. Kalau ada yang bilang kayak gitu lagi, kamu harus langsung bilang Di. Biar Di pukul mereka satu-satu."

"Tapi yang bilang gitu orang dewasa. Emangnya Di nggak takut?"

"Di nggak takut siapa pun." Dion mengusap kepala bocah enam tahun di hadapannya. "Apalagi sama yang gangguin Dya. Pokoknya Dya nggak usah khawatir! Kalau ada yang macam-macam sama Dya, Di bakal pukul orangnya sampai mati."

Terurai lagi air mata Laudya mengingat kejadian tersebut. Di hadapannya sekarang bukan bocah sepuluh tahun yang selalu menjaganya. Bukan cowok delapan belas tahun yang diteriaki maling. Bukan Dion yang pernah berjanji akan selalu menjaganya.

Melainkan mayat. Seonggok bangkai dengan ketidakberdayaan. Dan parahnya lagi, kematian Dion disebabkan hal memalukan. Overdosis!

Sebelum Laudya sampai ke kamar mayat, ia bertemu dengan dokter yang menangani. Dokter itu mengonfirmasi Dion meninggal karena pemakaian zat terlarang. Katanya juga, Dion ditemukan warga di sebuah gubuk tak berpenghuni dengan kondisi mulut berbusa. Ketika diusut, di dalam darahnya terdapat zat heroin. Yang artinya, Dion merupakan seorang junkie.

"Maaf, apa Anda keluarganya?" Seorang suster muncul dari belakang. Ia memegang papan dada lalu menunjukkan ke hadapan Laudya. "Ini keterangan kematian pasien. Kalau datanya sudah benar, silakan Anda tanda tangani agar pihak rumah sakit bisa melakukan tindakan lebih lanjut."

Laudya mengusap bulir di mata serta hidung. Sebelum membaca surat keterangan yang dimaksud, ia menyempatkan diri menatap pemuda yang membawa ke sini. Siapa lagi kalau bukan Ayyash.

FilantropiWhere stories live. Discover now