Pencarian Penyempurna

28.1K 3.1K 74
                                    

Kediaman Andreas langsung luluh lantak begitu tuan rumah tahu istrinya pergi. Bukan ke warung untuk beli garam, bukan pula ke rumah sakit tempat Livia kerja. Laudya menghilang. Tanpa kabar. Tanpa informasi. Tanpa ada yang tahu.

"Dasar jongos nggak berotak! Kenapa bisa Laudya pergi tanpa pamit?" hardik Andreas menggebu-gebu. Baik Mang Ujang maupun Bik Nining tak bisa menjawab. Keduanya ketakutan. Anjing tetangga bahkan sudah mengeluarkan air mata saking gemetarnya.

"Ma ... ma ... maaf. Ta ... ta ... "

"Ngomong yang jelas!" sentak Andreas dengan suara makin keras.

"Tadi saya lagi nguras kolam renang, Tuan."

"Saya lagi cuci mobil."

Andreas menendang kaki meja di ruang tamu. Amarahnya makin membuncah manakala alasan tolol itu keluar dari mulut pembantunya. Dasar pembantu kampung! Jagain satu wanita saja nggak becus!

Tanpa ba-bi-bu lagi Andreas meraih kunci mobil lalu menyisir Ibu Kota.

Mati kau, Laudya! Ia mengulang-ulang kalimat tersebut. Pikirannya sangat kacau, kalut, dan tak mampu berpikir rasional. Andreas mengunjungi beberapa tempat yang memungkinkan istrinya berada. Yang paling mungkin tentu saja bekas kontrakan sang istri.

Tapi yang terjadi sesuai dugaan. Rumah sempit itu kosong. Ketika ia mencari di naungan sebelahnya——alias rumah Dion, tempat itu juga tak berpenghuni.

Tak menemukan Laudya di rumahnya tak kan membuat Andreas berhenti. Otak cerdasnya terus berputar. Memikirkan kemungkinan tempat yang didatangi Laudya. Tak peduli tubuhnya lelah setelah seharian kerja, ia terus mencari.

"Jangan bohong, Livia! Kamu pasti tahu Laudya ke mana!" Kali ini Livia yang jadi korban. Pasien-pasien yang sedang mengantre jadi makin meriang. Apa pula pria ini marah-marah pada sang dokter? Apa ia sakit jiwa?

"Sumpah, Ndre. Aku saja baru tahu Dya hilang."

"Kamu, kan, teman dekatnya. Masa kamu nggak tahu?"

Livia mendecakkan lidah. Matanya mendelik tak suka, sedang wajahnya memasang mimik jijik. "Lalu kamu sendiri gimana? Kamu suaminya," ungkap Livia santai. "Kamu pernah ngaca nggak, sih? Dya stres punya suami kayak kamu. Terkekang."

Andreas mendengkus ketika Livia bicara begitu. Terkekang? Persetan! Kata siapa istrinya terkekang? Bukankah Andreas suami yang sempurna? Apa yang kurang darinya?

"Kamu dengar ya, Livia. Kalau sampai aku tahu kamu terlibat dalam menghilangnya Laudya, kamu akan menyesal!" Andreas mengancam sambil menunjuk-nunjuk muka Livia. "Kulapor polisi biar rumah sakit ini tutup selamanya. Bahkan kalau perlu, aku jeblosin kamu ke penjara. Awas kamu, ya!"

*
*
*

Di rumah tak ada, di tempat sahabatnya pun tak terdeteksi. Andreas merasa kepalanya pening karena memikirkan keberadaan istrinya. Ditambah perut keroncongan, kepalanya makin berdenyut gila. Sambil menahan sakit di puncak tubuh, Andreas membaca daftar kontak di ponsel. Berharap nama-nama tersebut memberinya sedikit petunjuk. Mulai dari A hingga Z, semua diperhitungkan nilai probabilitasnya. Dari aksi tersebut ia mendapat beberapa nama. Dan yang menurutnya paling mungkin adalah Herman, mertuanya.

Andreas percaya kalau ayah adalah orang pertama yang akan didatangi anak perempuannya saat terjadi masalah. Mengingat Laudya yang tidak punya ibu, Andreas makin memantapkan hati untuk mendatangi rumah tahanan.

"Jadi kamu menyakiti putriku? Dasar bajingan!" Herman langsung mencekik Andreas begitu menantunya bicara. Seandainya tak ada petugas yang berjaga, barangkali Andreas sudah diterkam bulat-bulat.

FilantropiOnde histórias criam vida. Descubra agora