Seseorang di Suatu Waktu

20.8K 2.6K 135
                                    

Hampir seperempat abad Laudya menghirup udara, tapi baru sekarang dirinya tahu suasana kereta. Kenyataan dan ekspektasi ternyata tak terlalu jauh. Saat menatap jendela, ia bisa melihat pohon, tiang listrik, dan rumah yang tampak berlari-lari.

Lalu guncangan ini ... aduhai, nikmat rasanya! Seperti ada gempa berskala kecil. Belum lagi prama-prami yang hilir mudik tampak muda-muda. Mereka siap melayani jumlah penumpang dengan senyum paten.

Sayang seribu sayang, dalam kenyamanan ini Laudya hanya sendiri——eh, berdua dengan bayinya. Dua kursi di depanya kosong sebab penumpangnya tak jadi naik, sementara kursi di samping —alias tempat Ayyash——tak pasti ditempati sebab lelaki itu dibutuhkan di bagian restorasi.

Laudya menghela napas berat sambil menatap ke luar. Ia mengusap perut lalu menyunggingkan seulas senyum. Lekukan pesakitan, lebih tepatnya. Benarkah pilihannya tak salah? Meninggalkan tempat lahir, Ayah, sahabat, dan beberapa kenangan.

"Keputusan ada di tangan kamu, Dya. Kamu lebih tahu apa yang terbaik buat kamu maupun bayi kamu."

Itu yang disampaikan Herman pada saat Laudya mendatanginya sebelum mengambil keputusan. Ia sadar penuh akan statusnya. Sebagai ayah yang tak berguna, ia menyerahkan pilihan pada anaknya.

Laudya bersyukur sebab sedikit-banyak ayahnya mulai berubah. Tadi, ketika Laudya pamit, pria itu menangis tersedu. Mengakui kalau ia khilaf atas kasusnya dan bersumpah tak kan mengulangi lagi.

"Lo yakin, Dya?" Beda Herman beda pula dengan Livia. Ketika Laudya meneleponnya, gadis itu terdengar sedih. Suaranya bergetar menahan tangis.

Setelah diberi penjelasan dan pengertian, akhirnya Livia pasrah. Ingatan akan kemalangan Laudya yang bertubi-tubi dijadikan pertimbangan juga.

Selain sahabat dan ayahnya, ada sosok lain yang sejak tadi dipikirkan Laudya, yakni Dion. Siapa yang akan mengunjunginya? Siapa yang akan membersihkan makamnya?

"Kalau kamu ingin kunjungi Dion, aku pasti antar. Kapan pun itu." Itu yang Ayyash katakan. "Pokoknya sekarang fokus saja pada kehidupan baru."

Ada benarnya juga perkataan Ayyash. Kalau Laudya sibuk memikirkan keresahan hati, bagaimana mungkin dirinya bisa fokus ke masa depan?

Ah, masa depan ... entahlah bagaimana jadinya Laudya di masa depan. Ia sudah lelah dipermainkan takdir, tapi tetap berharap di tempat baru nanti, nasibnya tak semalang sekarang.

Dan harapan terbesarnya adalah anak. Semoga ia tumbuh dengan baik dan bisa lahir. Jangan sampai keguguran lagi. Semoga juga anak ini tak mencicip kemelaratan. Sekalipun ayahnya tak ada, Laudya janji akan mencurahinya kasih sayang. Tidak akan dibiarkan anak ini merasakan kehidupan ibunya yang mengibakan. Dihina, diremehkan, dipandang sebelah mata, difitnah, dan diinjak-injak. Tidak akan pernah!

"Kamu mau makan sekarang?" Ayyash membuyarkan lamunan Laudya. Ia yang muncul di balik pintu itu pun mendekat. Penampilannya berubah. Lebih rapi. Lebih meyakinkan siapa pun kalau dirinya memang koki.

Tengok saja baju yang menutup badannya! Berwarna putih dengan kancing biru berjejer penuh seni. Lengan panjangnya digulung sampai siku, memberikan kesan profesionalitas. Di dada kiri tergambar logo perusahaan kereta yang tampak catchy. Di pinggang tergantung celemek dengan sisa noda seperti kecap, saus, dan minyak. Kaki panjang tapi kurus itu ditutupi celana warna hitam tanpa kusut. Dan entah kenapa, Laudya jadi terpatri. Terutama karena topi koki di kepalanya. Sangat cocok!

"Mau makan di sini atau di restorasi?"

"Di restorasi."

Ayyash menggumamkan ajakan, lalu memimpin langkah. Ia tidak bicara lagi. Tidak juga melirik. Seperti biasa.

FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang