Adam yang Berbeda

25.6K 2.9K 68
                                    

Mati aku! Hanya kalimat itu yang Laudya cenungkan dalam hati. Ia kaku, mematung, dan tak bisa bergerak. Seperti Malin Kundang dikutuk ibunya yang jahat.

Menurut Laudya ibu Malin Kundang memang jahat. Tega betul seorang ibu mengutuk darah daging sendiri. Meski belum pernah menyandang status malaikat tanpa sayap alias ibu, ia tahu kalau di dunia ini, cinta seorang ibu sangat buta. Sebegundal-begundal anaknya, ibu yang berjiwa ibu tak akan mengutuk anaknya.

"Maaf." Sosok yang menjatuhkan vas itu berkata, sekaligus meluluhlantakkan keterpakuan Laudya.

Makhluk ini memang laki-laki. Tapi bukan Dion. Dan syukurlah bukan Andreas juga. Aduh, Laudya lupa namanya. Waktu itu Dion memanggilnya apa, ya? Yasha? Iyash?

Ayyash!

Ya. Kalau tak salah namanya Ayyash. Pemuda bertubuh selembar dengan tatapan sayu yang menggagalkan rencanaa bunuh diri Laudya, juga yang membawa ke rumah ini. Ialah orangnya!

Dan karena ingat manusia ini, sekarang dada Laudya makin berdebar. Ia lupa kalau ini bukan rumahnya, lupa memakai pakaian sopan, lupa kalau kebebasannya keterlaluan.

Coba tengok! Sekarang ia hanya memakai tanktop warna hitam dan celana setengah paha. Tali surganya yang merah juga ikut muncul, bahkan sangat catchy. Waduh, Laudya benar-benar mengutuk diri sendiri. Biarpun di sini tak ada AC dan orang lain, harusnya ia bisa berbusana lebih manusiawi.

Sekarang semuanya sudah terjadi. Ayyash menyaksikan Laudya berpakaian seksi. Bahkan tak mengedip ketika pandangannya menjilati bodi Laudya dari ujung ke ujung. Wah, sudah pasti kemolekan Laudya menjadi sasaran empuk. Apalagi di bagian dada, paha, dan bokong. Tiga titik tersebut adalah bonus premium untuk syahwat Ayyash.

Tapi tunggu! Ayyash memang masih menatapnya, bahkan sampai detik ini. Namun, ada yang aneh dari sorot matanya. Kejanggalan yang dirasa tak wajar.

Tatapannya begitu magis. Menguasai tapi tidak melecehkan. Tidak ada kilatan nafsu, tidak juga terbitan berahi. Dan layaknya peramal, Laudya seakan-akan tahu ada yang berbeda dari pria ini.

"Ayyash itu beda."

Tiba-tiba Laudya ingat kata-kata Dion waktu itu. Be... be... beda itu maksudnya apa?

"Maaf, mungkin lebih baik saya ganti pakaian dulu."

Salah tingkah Laudya jadinya. Dengan terburu-buru ia mundur ke kamar. Mengganti pakaian supaya lebih sopan. Beberapa menit kemudian ia kembali pada Ayyash. Pemuda itu tengah memunguti pecahan vas.

"Boleh saya bantu?" tegur Laudya hati-hati.

Mata sipit dengan kantung tebal itu lagi-lagi bekerja. Ayyash menatap Laudya. Masih sama. Tidak ada sorot bahagia, tertarik, apalagi nafsu. Tatapan yang benar-benar kelam dan berbeda.

"Oh iya, kenalkan saya Laudya. Temannya Dion."

"Saya sudah tahu."

Agak tersinggung Laudya dijawab begitu. Nada dingin dan datar, bahkan terkesan tak suka. Sepertinya mayat berjalan ini ingin mengusirku, itu yang Laudya katakan dalam hati.

"Saya Ayyash, teman Dion juga."

Saya sudah tahu! Ingin Laudya menjawab dengan nada dingin dan datar seperti yang Ayyash lakukan. Tapi ia sadar, pria inilah yang menyelamatkannya.

"Mas Ayyash kebetulan pulang atau gimana?"

"Manggilnya Ayyash saja. Tanpa embel-embel," ketusnya sambil memunguti vas bunga yang berserakan, ia meneruskan, "Ya, saya pulang. Saya mau cari surat kepemilikan rumah ini."

FilantropiWhere stories live. Discover now