Huru Hara Sidang

21.2K 2.6K 132
                                    

"Ayyash masih ada urusan, Mbak. Jadinya belum bisa pulang," Ayyash berujar dengan seseorang di seberang telepon. "Pokoknya urusan. Penting. Nggak bisa ditinggal."

"Mbak nggak percaya, Ay!" Kakak perempuannya memang yang paling tahu. "Kamu bukan balikan sama dia, kan? Siapa, sih, namanya? Ummm ... Desti, eh, maksudnya Desta?"

"Bukan, Mbak. Ini beneran urusan penting. Ayyash bahkan absen kerja untuk ini. Sudah ya, Ayyash tutup!" Ayyash mengakhiri percakapan.

Ia meringis ketika menaruh ponsel. Serangan Andreas ternyata luar biasa. Muka Ayyash bonyok. Sudut mata dan ujung bibirnya robek. Pelipisnya yang terkena pecahan kaca juga harus diperban. Selain itu, diagfragmanya ikut bermasalah, membuat Ayyash kesakitan setiap kali bernapas. Belum lagi luka lain di sekujur tubuh tak kalah parah. Cakaran di pinggang dan tendangan di paha adalah salah dua yang membuat Ayyash merasa remuk.

Jadi, dialah Andreas? Ayyash merenung sambil memandang langit-langit. Secara fisik, ia memang oke. Tinggi, berotot, dan tegap. Mukanya juga tampan. Belum lagi tenaganya maha dahsyat. Panta saja dipanggil si Tuan Sempurna. Ia memang tak memiliki kecacatan apa pun selain sikap.

Lama Ayyash memandangi langit-langit. Setelah memikirkan Andreas, ia merenungi Laudya dan Dion. Dulu, sahabatnya itu selalu membicarakan Laudya. Selalu bertekad akan menjaganya. Tapi setelah Dion pergi, siapa gerangan yang akan menjaga perempuan itu? Lebih-lebih ia akan berpisah dengan Andreas. Lalu, bukankah Laudya sedang hamil? Mampukah ia bertahan?

Aduh, malangnya anak di rahim Laudya. Bisakah anak itu tumbuh degan baik? Akan terpenuhikah kebutuhannya? Bisa tercapaikah cita-citanya? Mampukah ia tumbuh tanpa dendam, lalu menjadi insan baik seutuhnya?

Tunggu! Kok, Ayyash memikirkan begitu jauh? Dengan salah tingkah Ayyash menampar-nampar pipinya. Terlalu sering sampai-sampai luka di bibirnya robek lagi.

"Ya ampun, Ayyash!" Tiba-tiba Laudya memekik sambil mendekat. Entah sejak kapan ia muncul. "Tahan, ya. Tahan." Ia membuka laci di lemari dan menarik sebungkus tisu. Seperti biasa, ia berusaha mengobati dengan telaten dan lembut. "Jangan dulu dilepas. Biarin darahnya berhenti."

Ayyash memandangi Laudya cukup lama. Mata perempuan ini lembap, pasti habis menangis. Kelabu di wajahnya juga begitu jelas. Tidak ada cercah bahagia yang timbul di sana. Aih, kasihan sekali.

"Maaf aku baru jenguk. Sidang perceraiannya dipercepat, sih," Laudya berujar sambil duduk di kursi. "Gimana keadaan kamu?"

"Sudah lebih baik," jawab Ayyash sambil melepas tisu dari bibir. "Gimana sidangnya?"

"Sangat luar biasa." Meski katanya bernilai positif, Ayyash tahu maknanya . "Aku serius. Sidangnya memang luar biasa."

Dalam sidang dihadirkan banyak saksi. Mereka tahu kalau setiap malam Laudya selalu jalan-jalan di sekitaran komplek dengan Ayyash. Mereka juga sering menyaksikan kemesraan Ayyash dan Laudya di siang hari. Entah itu Ayyash yang bersandar di paha Laudya lalu mereka saling cium, atau mungkin tangan Ayyash yang masuk ke celana Laudya.

Benar-benar luar biasa! Entah sejak kapan para saksi itu memperhatikan Laudya dan Ayyash? Atau lebih tepatnya, berapa duit yang mereka terima untuk mengutarakan kesaksian sepalsu itu?

"Andreas tahu kamu hamil?"

"Kalau tahu, dia akan berusaha mendapat hak asuh."

"Jadi kamu nggak bilang?"

Laudya menggeleng. "Apa pun yang terjadi, dia anakku," katanya mantap sambil mengusap-usap perutnya. "Aih, aku udah nggak sabar menanti sidang terakhir. Aku ingin segera lepas dari masalah ini."

"Laudya."

Hanya Ayyash yang memanggilnya Laudya. Si pemuda selembar ini memang tak pernah memanggilnya Dya. Mungkin masih merasa canggung.

"Kenapa kamu nggak bilang bahwa kamu hamil? Mungkin keadaannya bisa lebih baik."

"Lebih baik?" Laudya tersenyum mencibir. "Posisi aku lagi kurang beruntung. Bisa-bisa ada saksi yang bilang aku sering ML sama kamu," Laudya berujar dengan nada kesal. "Lagian aku tahu banget tabiat keluarga Adinegoro. Dengan cara apa pun, kalau mereka percaya ini anak Andreas, mereka akan merebutnya dari aku. Aku nggak mau itu terjadi."

Ayyash tak berkomentar sebab tak tahu harus menjawab apa.

"Tadi Livia datang." Akhirnya Ayyash mengganti haluan bicara. "Dia bilang hari ini hasil labnya keluar. Sekarang dia lag ... "

Ucapan Ayyash terpotong oleh kegaduhan yang terdengar tiba-tiba. Asalnya dari koridor. Dan entah kenapa, kebisingannya makin tak terkendali. Ada banyak orang berlari sambil teriak-teriak.

"Panggil damkar! Cepat-cepat!"

"Air! Air!"

"Bawa semua pasien! Jangan sampai ada yang ketinggalan! Cepat!"

Laudya beringsut dengan perasaan tak enak. Sahutan-sahutan berisi kalimat di atas kembali terdengar. Bahkan kini, jerit-jerit ketakutan semakin terdengar jelas.

Sebelum kakinya sampai di pintu, tiba-tiba seorang perawat masuk. Ia menghampiri Ayyash kemudian berkata, "Tetap tenang ya, Pak. Ayo, ikut saya."

"Sus, ada apa? Teman saya mau dibawa ke mana?" tanya Laudya sambil mendekati keduanya. Dadanya semakin bertalu-talu. Ia yakin ada masalah serius di sini.

Sang suster mulai kelihatan berkeringat. Barangkali rasa tenangnya sudah menipis. Dengan hati-hati ia membantu Ayyash bangkit lalu berkata, "Lab di koridor ini kebakaran. Makanya kita harus cepat-cepat pergi."

Ayyash dan Laudya saling tatap.

Kebakaran ...

Lab ...

Oh, tidak!

"Livia..."

-bersambung

FilantropiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin