Terbentur Terbentur Terbentur Terbentuk

21K 2.6K 131
                                    

Hari ini, yang diresahkan Laudya terjadi. Ia cerai dengan suaminya dan harus menyandang status baru. Seorang janda.

Ia sudah pasrah dari jauh-jauh hari sehingga keputusan yang dibacakan barusan diterima dengan lapang dada. Ia tak mendapat sepeser pun harta Andreas dan tuduhan dirinya selingkuh menyebar ke mana-mana.

"Dya."

Laudya menghentikan langkah ketika keluar dari ruang sidang. Ditatapnya mantan imamnya itu dengan sendu. Berusaha menahan perasaan benci yang kini muncul ke permukaan.

"Kembalikan cincin kawinku."

Teriris hati Laudya mendengarnya. Cincin kawinku? Simbol cinta yang mengesahkan mereka di pelaminan ternyata hanya status. Andreas tak pernah memberikannya, hanya mentitip. Ia tak mau rugi satu rupiah pun.

"Kalau ada yang mau dibicarain, mungkin sekarang saatnya." Andreas berkicau setelah mendapatkan cincin. "Biar semuanya clear."

Laudya mengatur napas sebentar. "Ada dua yang mau aku bilang," katanya mantap. "Pertama, aku nggak pernah selingkuh."

Andreas tersenyum mencibir.

"Kedua, tolong jangan bohong lagi!" Laudya memandang lurus-lurus. "Katakan, dari mana kamu tahu alamat Ayyash dan kenapa cincin yang dibawa Dion bisa ada di tangan kamu?"

"Dari Dion," jawabya. "Karena dialah, aku dapetin cincin dan alamat si anjing itu. Puas?"

"Jadi waktu itu kamu bohong?"

"Anggap saja balasan karena kamu nyeleweng." Setelah mengatakannya Andreas tersenyum melecehkan, kemudian pergi begitu saja.

*
*
*

Beberapa hari kemudian.

Laudya membasuh muka setelah muntah. Sudah penghujung tiga bulan tapi masih saja dirinya mual setiap pagi. Kemarin-kemarin Laudya terlalu fokus pada masalah, sehingga muntah dan mual terasa lewat begitu saja. Dan begitu didera gejala morning sickness pagi ini, ia benar-benar lemas.

Saat ini pertama kalinya Laudya merasa benar-benar sendirian. Sejak dituduh selingkuh, ia sudah kembali ke rumah aslinya. Ini memang pilihannya. Barangkali tinggal di kontrakan yang ditempati sejak kecil akan lebih aman.

"Memang brengsek! Tengok saja ibunya kayak gimana."

Meski kuping Laudya sudah sering mendengar cemoohan, tak ayal ia merasa teriris. Padahal tadinya hari ini akan fokus pada rencana hidup, yakni cari kerja. Tetapi baru juga keluar rumah, sarana gosip terkemuka ——ehem, tukang sayur—sudah menciutkannya.

"Huh, lagaknya!" Sekali lagi ibu-ibu yang mengerubungi tukang sayur itu berujar nyinyir. Barangkali mereka gemas lantaran Laudya tidak terpicu.

"Punya suami cakep, kaya, dan baik malah selingkuh. Bikin malu saja!"

"Ya maklum, dong. Lu pada lupa ibunya kayak gimana? Buah yang jatuh nggak jauh dari pohonnya."

"Ibu jablay, bapak napi, eh, dianya tukang selinguh. Bener-bener calon penghuni neraka kalian."

Laudya tak bisa lagi menangkap kata-kata pedas mereka. Jaraknya sudah terlalu jauh. Lagi pula di depan sudah masuk jalan raya. Jadi dibiarkan saja mereka bicara sampai mulut berbusa.

*
*
*

"Lain kali ya, Dya."

Laudya mengangguk patuh lalu keluar ruangan. Cari pekerjaan ternyata lebih susah dari yang ia kira. Hampir satu minggu ia ke sana-kemari cari lapak nafkah. Tapi tak satu pun yang terima. Mulai dari menolak secara halus, hingga langsung bilang tidak, semuanya lengkap.

FilantropiWhere stories live. Discover now