Sisi lain

20.6K 2.6K 132
                                    

Masih di beberapa belas tahun lalu.

Keesokan harinya Andreas berangkat sekolah seperti biasa. Semenjak turun dari mobil hingga jam sekolah berakhir, dadanya berdegup kencang. Ia takut jika anak SMP kemarin datang lagi.

"Aku kecil, mini, dan lemah. Kalau mereka datang aku pasti digebukin. Aku bakal diketawain teman-teman dan dihukum Ayah." Itulah yang dibicarakan lewat komat-kamit.

Di dunia ini, hanya segelintir orang yang bicara sendiri. Dan Andreas salah satunya. Sebenarnya bukan salah satu. Ini hanya masalah kebiasaan. Andreas kecil berbeda dengan anak pada umumnya. Kepercayaan diri sangat minim. Selalu menganggap dirinya lemah, bodoh, dan tak pantas dilahirkan. Anggapan ini barangkali refleksi dari jiwa yang berontak atas tindakan orang tuanya.

Tertekan dan haus kasih sayang. Itu salah duanya. Ketakutan berlebih pada sang ayah menjadikannya sering berhalusinasi, yakni dengan membayangkan hal-hal yang tak biasa dan bicara sendiri. Sedangkan untuk masalah kepercayaan diri yang minim, mungkin karena tak pernah disentuh oleh yang namanya pujian.

Dari kelas satu Andreas selalu mendapat peringkat pertama. Semua perintah Ayah pun dijalankan tanpa protes. Tapi sampai lelah berjuang, pujian memang tak pernah muncul. Bahkan untuk sekadar "Wah, kamu rajin sekali!" atau "Ayah sama Ibu bangga sama kamu." Kalimat seperti itu tak pernah didengarnya. Padahal pujian bagi anak seumurnya--terutama jika diutarakan orang tua--sangat berpengaruh untuk kepribadian.

Dan karena tak pernah mendapatkan haknya, tumbuhlah Andreas menjadi pribadi yang ciut. Baik badan maupun mental. Ia tak bisa memandang kelebihannya. Semua tertutup oleh refleksi negatifnya. Lemah. Bodoh. Jelek.

"Hai, adik kecil!" panggilan itu membuat Andreas menengadah.

Oh, itu gadis yang kemarin menolongnya! Mendadak saja dada Andreas bergemuruh tak keruan. Setiap memandangnya, entah kenapa refleksi negatif seperti lenyap.

"Muka kamu .... " Andreas gemetaran ketika gadis itu mendekat. Dari kejauhan luka di wajahnya memang tak kelihatan. Tapi sekarang, Andreas jadi merasa bersalah. Bibir gadis itu bengkak. Pasti gara-gara kemarin. Aduh, kasihan.

"Muka aku baik-baik saja." Gadis itu tersenyum meyakinkan. "Kaki kamu gimana?" Ditatapnya lutut berplester itu sambil membungkuk. "Wah, syukurlah sudah diobati. Ibu kamu yang kasih plester?"

Boro-boro! pekik Andreas sambil mengerucutkan bibir. Semalam Ibu nggak pulang. Ia baru muncul pukul setengah tujuh pagi, tepat ketika Andreas dan Amzar siap diantar Ayah. Ketika wanita itu muncul dengan sisa-sisa keletihan, betapa murkanya Ayah.

"Besok nggak usah pulang kalau datangnya masih jam segini!" kata Ayah sengit. "Kamu punya otak, nggak? Kamu sudah menikah. Punya anak. Kenapa masih kelayapan?"

"Siapa yang kelayapan? Aku kerja!"

"Kerja itu bagian suami," Ayah memekik lagi. "Bagian kamu adalah mengurus rumah, kasih perhatian buat anak-anak, dan nurut apa kata suami. Sekarang aku tanya, apa semua yang aku sebutin sudah kamu lakukan? Pernahkah kamu masak, atau ngobrol sama anak-anak, atau nurutin apa yang aku mau? Nggak, kan? Lalu apa gunanya kita nikah kalau kamu masih independen?"

Ah, Andreas tak mau melanjutkan bayangan pertengkaran tadi. Bahkan sekarang ia tak mau pulang. Biar saja les sampai gumoh, kalau perlu sampai besok pagi. Yang penting nggak usah lihat mereka berantem. Serem!

"Ya sudah, adik kecil. Aku pulang duluan, ya. Dadah!"

Uh, kenapa ia memanggilnya adik kecil? Siapa yang adik kecil? Andreas sudah kelas enam. Lagi pula Andreas tahu kalau anak ini pasti lebih muda. Lihat saja matanya yang polos jenaka, senyumnya yang hangat kebocahan, gerak-gerik lincah nan tangguh, dan muka sok tahu menggemaskan. Andreas yakin kalau ia lebih muda.

FilantropiWhere stories live. Discover now