Chapter 2 - Lost Love

5.3K 620 36
                                    

         Aku tiba di kamar, bersiap mengakhiri segala aktivitas hari itu. Cahaya sihir menguar redup pada permukaan dinding putih, memberikan kesempatan bagi rambut oranyeku untuk berpijar cerah. Hari sudah malam, seperti yang selalu terjadi. Namun, kali ini aku tidak bisa menyaksikan bintang-bintang dengan mahligai gelapnya angkasa. Putihnya ruangan menggantikan peran waktu, dengan kontras yang nyala-redup seperti napas alam berbentuk penjara bawah tanah.

Dipan empuk berseprai beludru merah menyambutku hangat, tetapi aku memilih untuk bersimpuh di atas kursi meja rias berukir emas. Kupandang bayangan wajahku di depan cermin, rambut cerahku membingkai parasku yang sayu, selalu membentuk kesan seakan wajahku diterpa mentari pagi. Iris oranyeku turut berkilauan di balik bulu mata yang menjulur lentik, dikibaskan oleh kedipan kelopak mataku yang layu. Beberapa bekas luka membujur di kulit bahu dan wajahku, bekas pertarungan pagi tadi. Aku meletakkan kedua tanganku di atas meja, mengamati jemariku yang terlihat kokoh-bukti dari kerasnya permainan pedangku selama ini.

Cincin perak putih itu melilit jemariku, kristal merahnya berkilauan di bawah sinar rambutku. Aku mengulas senyum, mengabaikan semua rasa lelah di tubuhku. Beberapa saat yang lalu kupikir aku akan kehilangan apa yang tersisa dari Zveon padaku ketika Darlene membuang benda ini di udara.

"Ia memiliki seluruh benua barat di bawah kakinya. Ia akan tumbuh menjadi pemimpin tiran generasi baru, dan ia akan melupakanmu."

Aku menelan ludah untuk melegakan tenggorokanku yang tercekat. Kupandang bayangan wajahku kembali, bibir merah delima itu melenyapkan senyumnya.

"Zveon ..." bisikku sedih.

Belum sempat aku diliputi nestapa, sesosok gadis mendatangiku. Aku melihat bayangan warna lembut magenta yang beradu dengan cahaya oranyeku di cermin ketika gadis tinggi itu berdiri di belakangku.

"Tuan Putri," katanya setengah berbisik. Aku berbalik arah untuk menatapnya langsung, buru-buru memasang tampang ceria.

"Maggie." sapaku dengan senyuman lebar. "Kau tidak perlu cemas. Aku baik-baik saja."

Maggie tetap terlihat murung. Aku tahu ia masih mencemaskanku. Ia selalu seperti itu-mendatangiku kala ia merasa aku tengah merindukan Zveon, menenangkanku ketika ketiga kolega bertarungku yang suka mengerjaiku itu membuatku sedih, kapan pun mood-ku berada di dasar jurang. Aku merasa sangat beruntung memiliki kedua pundaknya, walau menurutku aku adalah beban yang sangat berat baginya.

Maggie menghela napas panjang. Untuk sesaat, senyum yang kupaksakan sedikit kabur. Maggie tahu aku berbohong, tetapi ia hanya menatapku lembut.

"Aku telah menyiapkan air mandi aroma rosemary untuk Tuan Putri." Maggie melayangkan senyum lembut. "Kuharap ini bisa menghilangkan kegelisahan Yang Mulia."

Seperti Shimmer, Maggie sebenarnya adalah salah satu dari dayang-dayang Azelia yang sangat loyal. Tetapi, suatu hari Azelia memutuskan untuk memberikan Maggie padaku. Maggie pun mulai melayaniku-membantuku berpakaian, mengasah pedangku, menyiapkan makananku, dan lain sebagainya. Aku sudah menyerah untuk membuatnya berhenti memanggilku 'Tuan Putri' atau 'Yang Mulia' karena sebenarnya aku menganggap Maggie sebagai temanku, faktanya ia adalah salah seorang rekan bertarungku. Ia tetap menjaga sopan santunnya dan tetap melayaniku sebagai seorang putri. Aku tak memiliki pilihan lain, aku harus terbiasa hidup sebagai seorang putri walau aku tetap merasa canggung dengan sikap formalnya itu.

Rosemary? Aku terkesiap, tak bisa menyembunyikan rasa senangku. "Terima kasih, Maggie. Kau memang yang terbaik."

*

Aku merasakan kehangatan air berbusa dengan warna merah jambu pekat ketika aku mencelupkan tubuhku ke dalam bath tub luas beralas keramik licin. Aku bersandar di pinggir, sementara Maggie menawarkan diri untuk menggosok punggungku dan membasuh rambutku. Kedua tanganku melambai di permukaan air sambil memainkan gumpalan busa di sekelilingku. Aroma rosemary lembut tercium semerbak di udara, jauh lebih kusukai dibanding aroma aster yang khas milik Azelia. Maggie menggosok kulit pundakku dan merapal mantra di sana-sini sehingga kulitku yang semula berbercak luka kini mulus seperti sediakala.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang