Chapter 7 - Welcome Back, Ziella!

4.6K 531 77
                                    

        

Terbang setinggi ribuan kaki dari tanah terasa begitu menyenangkan. Padang bukit berpohon rimbun terhampar bermil-mil dan kolam-kolam danau memantulkan mentari seperti cermin mengilat. Pyrenix, seekor Phoenix khas kaum hellbender milik bibiku mengangkut aku dan Maggie sehingga kami berdua sanggup mengikuti lintasan terbang Zveon dan Anna di atas naga biru itu.

Pertama kali melihat Pyrenix, burung raksasa dengan bulu-bulu api berkilauan itu, sungguh membuatku terpesona. Awalnya Maggie memanggil hewan ajaib itu dengan peluit magis pemberian Azelia yang berbunyi nyaring di udara. Semenjak kejadian penumpasan spesies kami, konon para pyrenix ikut menjadi korban, dan hanya sebagian kecil yang terselamatkan, termasuk kendaraan bibiku yang berwarna oranye cerah itu. Paruhnya kokoh dan runcing seperti paruh burung rajawali, sedangkan bulunya merebak luas bagai singgasana merak, dan ia mampu terbang setinggi naga para penyihir. Benar-benar makhluk yang indah.

Selama kami akan tinggal di kota, Zveon sepakat bahwa ia akan membiarkan kami mengendarai kendaraan kami sendiri. Kurasa inilah keuntunganku dapat menjadi perwakilan seluruh kaumku, aku memiliki sedikit fasilitas untuk memudahkan perjalananku. Aku juga bersyukur Maggie ada bersamaku untuk menemaniku, meski aku harus berpisah dengan kakakku lagi. Menyelami birunya langit dan magisnya dunia ini, aku tidak sabar dengan segala petualangan yang akan kuhadapi.

Naga Zveon berukuran empat kali lipat lebih besar dari pyrenix yang kukendarai, berkulit penuh sisik kebiruan dan bertanduk runcing. Ratu Anna bercerita kepadaku, katanya kini naga itu memiliki nama, yaitu Orion. Setelah lima tahun lamanya, rupanya bukan hanya kami saja yang mendewasa. Orion nampak seperti peliharaan monster raksasa milik Zveon yang semakin menakutkan. Selama perjalanan, rantai kekang yang digenggam Zveon bergemerincing dan sigap menjadi pengendali Orion melawan angin dan gravitasi.

Berada di balik punggung Maggie, terkadang kulemparkan pandanganku pada Penyihir-Vampir yang memandu terbang kami itu. Terheran-heran mengapa wajah tajam nan elok itu dapat menjadi lebih elok, dan tubuh gagah itu dapat menjadi lebih perkasa. Kedua mata merahnya berkilau seperti permata cincin di jemariku, terfokus ke arah lanskap penjuru negara kekuasaannya. Aku kini menyadari bahwa aku sedang mencintai seorang pria, bukan lagi seorang pemuda.

Aku mengalihkan pandangan ke arah kabut yang menyapu kulitku, membiarkan rona pada permukaannya menghilang bertahap. Akan tetapi, degupan quartzku masih belum memelan. Cinta, bibiku tidak pernah memberiku petunjuk apapun tentangnya, kecuali ...

Nasihat terakhirnya.

Jadilah orang yang kuat, karena sekalipun kita berada di dunia yang penuh dengan keajaiban, cinta bukanlah hal yang akan membahagiakanmu selamanya.

*

Akhirnya, kota yang lama kuimpikan itu terpampang di depan mataku.

Menara-menara tua Demozre berdiri kokoh dengan latar senja kemerahan. Lampu-lampu kota mulai berkelipan untuk menyambut kegelapan hari. Naga-naga dari berbagai pelosok awan berlalu-lalang di angkasa bersama kawanan pengendara sapu terbang yang lincah. Keramaian kota mengisyaratkan kehidupan tenteram yang sudah merupakan pemandangan langka bagiku dan bagi Maggie. Hellbender magenta itu makin menerangkan cahayanya saat ia terkesiap memandang segalanya.

"Tu-tuan putri," pekiknya di antara deru angin. "ini indah sekali."

"Sudah kuduga kau akan bilang begitu, Maggie." Aku tersenyum padanya.

Aku ingat, istana kegelapan berada di bagian ujung kota metropolitan itu. Dari kejauhan, bendera West Wing berkibar dari puncak istana yang mahamegah. Bernaung di antara kegelapan yang merangkak turun. Pengayom dari seluruh bangunan di Demozre. Tempat tinggal sang Pangeran Kegelapan. Tempatku pernah bersinggah dahulu ...

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang