Chapter 17 - Refreshment

1.2K 177 27
                                    

Peri hellbender berambut magenta itu masih terlelap nyenyak di atas dipannya. Nyala yang memancar dari helaian rambut shaggy-nya tak begitu benderang, tetapi mimiknya terlihat amat relaks. Napasnya berhembus teratur, terpompa gerakan dadanya yang naik-turun. Dari atas balutan selimut, kedua tangannya saling menumpu rapih. Cerahnya cahaya matahari yang mulai meninggi dari luar jendela tak mengusik tidurnya sedikit pun.

Tangan-tanganku terlilit perban hingga ke siku, menutupi bekas aus luka bakar sehari yang lalu. Perlahan, kugeserkan tanganku hingga ujung jemariku yang kaku menyentuh tangan Maggie. Suhu hangat itu menularkan senyuman di bibirku. Setelah pertarungan kemarin, Maggie lekas beristirahat. Kata para perawat Istana Central, Maggie butuh waktu beberapa lama untuk memperoleh seluruh kekuatannya kembali. Energi magisnya yang terkuras habis serta darahnya yang berkurang banyak—karena ulah si Vampir Julius Cain—membuatnya harus terlelap selama seharian penuh. Aku sempat bersikeras untuk mendonorkan darahku, tetapi mereka bilang aku tak bisa melakukannya karena aku sendiri sedang dalam masa penyembuhan. Meski begitu, aku yakin Maggie akan sembuh tak lama lagi.

Tok tok tok. Pintu kamar itu terbuka, dan muncullah dua sosok yang membawa sekeranjang penuh buah dan bunga-bungaan. Aku tersenyum lebar menatap Gerard yang menyapaku riang dan meletakkan keranjang buah itu di meja samping tempat tidur. Stella pun turut menyinggahkan seikat bunga berwarna-warni dan berdiri di sampingku untuk mengawasi keadaan hellbender itu.

"Sepertinya dia masih bersenang-senang di alam mimpi," tukas vampir berpakaian hitam itu dengan ekspresi geli. Dipandangnya balutan perban di lenganku. "Bagaimana kondisi lenganmu, Ziella?"

Aku sedikit mengangkat bahu. "Sudah tak terlalu sakit, bila aku tidak bergerak banyak."

Gerard mengangguk dan memindaikan tangannya di sekujur bebatan itu. Terpancar gejolak sihir putih dari telapak tangannya, menghantarkan sensasi yang menyejukkan di kulitku. Setelah dia selesai, aku mengangguk berterima kasih.

"Apa Maggie akan berubah jadi vampir?" tanyaku di antara kekhawatiran yang menyeruak. Kilasan ketika Julius menghisap rakus darahnya membuatku bergidik ngeri.

"Tidak." Gerard menenangkanku. "Kalian, para hellbender adalah makhluk-makhluk yang lebih kuat dari para vampir maupun para makhluk kegelapan lainnya. Mag tidak akan berubah menjadi double gene, karena gen vampir itu tidak akan bisa memengaruhi gen hellbendernya yang kuat."

"Gerard benar." Stella menghela napas panjang. "Aku hanya bersyukur Magenta kembali dengan selamat." Putri penyihir berambut biru panjang itu menyentuh lirih bahu Maggie. Aku memahami perasaan itu. Kedatangan Maggie pasti membuat yang lain bernapas lega seketika, kecuali beberapa warrior yang belum dikejutkan dengan berita hilangnya Maggie di antara reruntuhan gua. Kesedihan berkat kematian singkat sahabatku itu benar-benar salah satu perasaan yang paling mengerikan.

"Hnn..."

Kami menatap asal suara yang keluar dari mulut Maggie itu serempak. Dengan terkejut, Stella menarik kembali tangannya. "Ups, apa aku membangunkannya?"

Maggie menggerakkan kepalanya yang semula tergolek ke samping itu ke atas. Perlahan, kedua kelopak matanya membuka dan menampilkan binar iris magenta gelapnya. Dia mengerjap beberapa saat.

"Selamat pagi, Maggie," sapaku ceria. Sinar oranyeku yang menerpanya bergolak lebih lincah.

Paras Maggie yang lemah lantas berubah drastis. "T-tuan putri ... tanganmu..."

"Mag, tenanglah." Ketika Maggie hendak mencondongkan tubuhnya, Gerard menahannya agar tidak bergerak terlalu jauh. Ekspresi ngilu pada paras Maggie jelas menandakan hellbender itu masih perlu beristirahat.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Where stories live. Discover now