Chapter 25 - Homecoming

421 62 51
                                    

"GEORGE!"

Wajah kakakku berseri-seri ketika aku menumbuknya dengan pelukan hangat. Tak kusangka hellbender yang sorot magisnya mengingatkanku pada teduhnya flora di pedalaman hutan itu tiba-tiba datang di halaman depan kami, bermodal senyuman yang amat kukenal. Kerumun lara dalam dadaku sekejap meluruh begitu saja, seakan kakakku itu tahu kapan saat yang tepat untuk menemuiku. Aku menarik diri untuk menyambut tawa riang dan tatapan hijau cerahnya. Sinar kami beradu dan menari di tanah dengan irama yang sama, disemarakkan dengan cahaya matahari yang superior. Entah kakakku akan menyadari sedikit kerutan di bawah kelopak mataku atau tidak—bekas air mata yang beberapa hari terakhir acap kali meruah—tapi aku tidak ingin menyambutnya dengan sedikitpun kemurungan.

"Aku sangat rindu padamu," ucapku tanpa basa-basi, selagi hellbender hijau itu menepuk-nepuk puncak kepalaku.

"Aku juga," sahutnya, mengangguk pada Maggie yang menyatukan cahayanya pada semburan hijau dan oranye kami. "Mag, terima kasih telah menjaganya selama ini."

Maggie menunduk hormat. "Ini sudah merupakan bagian dari tugasku, George."

"Kupikir kau sudah tahu apa maksud ke datanganku kemari."

Maggie tersenyum lemah. "Ya, aku tahu, George."

Mereka berdua menatapku dalam keheningan. Aku bernapas ragu, membarengi tilikanku dengan kerutan kening. Baik George maupun Maggie sepertinya tak terlalu ingin membeberkan segalanya begitu saja.

"Memangnya ada apa, George?" tanyaku kemudian.

George menggaruk tengkuknya. "Ziella, kau telah—"

"—boleh aku berbicara dengannya sebentar?"

Aku tercengang saat mendengar suara itu. Suara dalam seorang pemuda yang mengingatkanku dengan tenangnya malam dan sunyinya daratan selepas petang. Lalu senyumku menyurut. Zveon berdiri beberapa meter dari sosok kakakku, menguak kehadirannya. Wajahnya sempat tersembunyi di dalam tudung biru gelapnya, dan dengan sekali tarikan, dibukanya tudung itu, menampilkan paras elok yang tak pernah berhenti kukagumi. Kedua iris merah darahnya mengilap di bawah sinar mentari. Rambut ikal biru bagai gelombang ombak air laut yang dalam memayungi keindahan itu. Perlahan pangeran itu mendekat, dan anehnya, tidak ada lagi kegirangan yang ditimbulkan dari jarak kami yang semakin sempit. Bayangannya menjulang, memayungiku dari terpaan surya sekaligus keceriaan sekejapku. Mataku gatal untuk mengalihkan pandangan karena rasa perih yang menjalar, namun aku memberanikan diri untuk menutupinya dengan ketegaran.

Ketika Maggie dan George beranjak pergi untuk membiarkan kami berdua sendiri, Pangeran kegelapan itu mulai berucap. Selama ini aku hanya diam saja, tepekur saat kenangan semalam membanjir di otakku. Aku mengepalkan tangan, menelan ludah untuk melepas kekakuan yang menghambat saluran pernapasanku.

Apapun yang akan dia katakan waktu itu, aku tidak akan sanggup mendengarkannya. Aku menyayanginya. Namun rasa sayang itu tak dapat menjadi pengabul doa.

"Ziella, aku—"

"—selamat, Zveon," kataku, tak sengaja memotongnya. Zveon terperangah kaget dan memandangku nanar.

"Ziella ... aku tidak jadi bertunangan dengan Noola." Zveon buru-buru melengkapi kalimatnya. Tetapi pernyataan itu tak dapat kuanggap serius. Aku seperti dibutakan oleh pahitnya kenyataan yang rutin menyiksaku.

"Aku tidak harus menikah dengan Noola untuk menyelamatkan Fantasia Cosmo, Ziella." Zveon mempertegas pernyataannya lagi. Tangan kanannya terangkat untuk meraih jemariku, namun aku refleks bersedekap untuk menghindar darinya. Rasa takut menyelimutiku meski aku tahu dia tidak akan menyakitiku. Zveon menatapku sedih. Tiba-tiba suasana pagi itu terlihat lebih suram saat bayangan kelabu awan agak mengisi celah-celah angkasa, menghalang sang surya untuk tersenyum lebih lebar.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Where stories live. Discover now