Chapter 13 - The Cave of Emeritus

1.6K 294 44
                                    


"Ziella! Magenta! Kalian tidak apa-apa?"

Aku membuka mata untuk menerima benderang cahaya oranye yang berasal dari rambutku sendiri. Cahaya itu menampilkan debu-debu pasir yang masih mengudara dan membuat sekelilingku buram. Lagi-lagi aku terbatuk, menyadari posisiku yang tengah bersandar pada lengan Maggie yang melindungiku di dinding gua yang berbonggol. Di kegelapan sepekat dan seapak ini, kedua binar rambut kami cukup terang untuk membuat kami tahu bahwa seluruh ambang gua itu telah tertutup dengan sempurna, tak menyisakan celah sedikit pun bahkan bagi oksigen untuk menerobos masuk.

Maggie turut membuka matanya, dan ia begitu lega mendapati aku tak terluka berkat perlindungannya. Dengan cepat, ia berdiri dan membantuku bangkit. Dari sisi lain, datang sosok elf berambut gelap dengan kulit wajah yang ternodai tanah.

"Kami baik-baik saja, Pangeran Forest," jawab Maggie kemudian, menghadirkan refleksi cahaya merah magenta lembut pada parasnya yang mendekat. Di arah lain, datang lagi seorang elf yang memantulkan warna mata biru cerah dengan rambut yang nampak kemerahan di bawah cahayaku. Pangeran Flinn pun lega mendapati kami selamat dari batu-batu yang berhujanan.

"Di mana Franell?" tanya pangeran kedua Claumere itu sambil menyapu pandangan, kecewa begitu ia hanya menemukan gundukan-gundukan longsor yang mengatupkan mulut gua itu. Tak ada makhluk lain lagi selain kami. "Dan di mana yang lain?"

"Mereka pasti berhasil keluar." Aku mencoba berpikir positif. Jika ada salah seorang dari kami yang terluka akibat tertimbun batu, kami pasti dapat mendengar rintihan kesakitan mereka selama gua itu longsor. Selama ini, kami hanya mendengar suara senyap debu-debu yang menipis dari ruang gua. Aku juga tak menemukan adanya onggokan tubuh yang terhimpit bebatuan—setidaknya kami belum menemukan seseorang pun terluka saat itu.

Aku dan Maggie mendatangi gundukan batu, sedikit menggerakkan bongkahan yang terkecil, dan kami bahkan tak dapat menyerpihkan secuil tanah pun dari jalan keluar kami itu. Forest dan Flinn bahkan mengeluarkan pedang mereka dan mulai berusaha mencungkil kepadatan gua—Flinn sampai hampir membengkokkan pedangnya. Setelah itu, Maggie pun mengerahkan ledakan api yang menggemuruh dan api itu sama sekali tak membuat runtuh tabir berbatu yang kokoh itu. Aksi Maggie bahkan hampir memicu gempa yang berikutnya—karena serpihan-serpihan kerikil mulai berjatuhan setelahnya. Kami pun berhenti berusaha dengan terengah-engah.

"Ziella? Forest? Kyle? Stella?"

Samar-samar aku mendengar suara kecil itu. Aku pun mendekatkan telingaku ke jajaran batu yang rekat, mencoba mendengarkan suara yang menyuar begitu lirih dari sela-selanya.

"Jika kau mendengarku kumohon beresponlah!"

"Itu ... itu Zveon!" pekikku akhirnya, membuat yang lain serta-merta memasang telinga di antara batu-batu tersebut untuk menyimaknya.

"Zveon! Ini aku, Ziella! Kami di sini! Kami baik-baik saja!" Aku berteriak sekeras mungkin, entah ia akan mendengarnya atau tidak.

"Ziella? Ziella?"

"Kami di sini!" Pangeran Forest ikut melantangkan suaranya.

"Kakak??" Mata Pangeran Forest dan Flinn membeliak begitu mendengar suara laki-laki yang lain.

"Franell? Itu kau?? Syukurlah kau selamat!" Flinn pun berseru dengan girang.

"Apa kalian baik-baik saja di dalam?" Suara Zveon kembali mendominasi.

"Iya, kami tidak apa-apa." Selama aku berteriak, suaraku tergema nyaring di seluruh penjuru gua. Sambil masih menempelkan telingaku di bebatuan, kulemparkan senyum penuh syukur pada Maggie, mengetahui bahwa yang lain berhasil keluar gua dengan selamat. Aku tak sempat menyayangkan ketertinggalan kami yang terpenjara di timbunan gua itu, yang kupikirkan kini adalah keselamatan mereka semua.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Where stories live. Discover now