Chapter 14 - Poseidon Thorne

1.2K 170 16
                                    

        

Tanpa Ziella dan Magenta, penerangan kami tidak cukup kuat untuk menyorot jalanan di depan gua batu itu sehingga membuat kami harus terus berjalan tanpa arah menembus atmosfer yang kelam. Terkadang, aku akan menjulurkan tanganku yang tidak memegang obor ke depan seperti orang yang penglihatannya direnggut, berharap barangkali tanganku itu akan menyentuh sesuatu yang keras. Tetapi, lorong gua itu sama sekali tidak berkelok, aku pun tak menemukan adanya tiang stalagtit-stalagmit yang biasanya akan menjulang secara acak di gua mana pun yang kutahu.

"Forest." Adikku memanggil, wajahnya memantulkan sinar obor begitu benderang. Bila kami tidak berjalan bersama dari awal, aku sudah pasti akan mengiranya sebagai hantu. "Aku melihat cahaya kecil di depan. Apa kau melihatnya?"

Kusambarkan pandangan ke depan. Cahaya itu menyerupai suatu api kebiruan yang bergejolak jauh dari tempat kami berdiri. Secara tidak sadar, aku dan Flinn mempercepat langkah kami. Inikah aura yang tadinya dideteksi Magenta? pikirku curiga ketika bayangan api biru muda itu mulai menampak lebih besar.

Semakin kami mendekat, bau apak berkapur mulai tersamarkan dengan bau hangus batu terbakar. Lorong gua itu tiba-tiba nampak begitu jelas karena terpapar cahaya kebiruan, sehingga obor-obor kami nyaris tidak ada gunanya lagi sekarang. Dinding gua meluas menjadi sebuah ruangan yang cukup besar. Api tersebut kini hanya berjarak beberapa meter saja, berkobar megah di tengah ukiran altar berbentuk lingkaran dan dikelilingi oleh lima buah patung batu berwujud manusia yang berpose layaknya mereka akan bertarung. Pada mulanya, aku sedikit terlonjak karena mengira kelima patung itu wujud orang-orang sungguhan. Bayangan mereka bertarian di permukaan gua seiring api biru setinggi dua meter itu membara.

"Apa ini? Suatu tempat pemujaan?" Aku bertanya dengan sia-sia, sementara Flinn mendekati api itu, mengitari patung demi patung yang berjajar. Patung-patung tersebut tak berwarna, tak berwajah, juga tak bersandang. Ada sesuatu dari mereka yang membuatku percaya bahwa mereka sedang mengawasi kami; Flinn pun tampak gelisah di tengah investigasinya.

Tak lama kemudian, api biru raksasa itu meletupkan nyalanya hingga membuat kami buta sesaat, dan ruangan itu sudah dibubungi sedikit asap kala kami membuka mata. Aku dan Flinn terkesiap ketika menyaksikan kemunculan makhluk berjubah yang kini berada di tengah altar, dan api kebiruan itu berkobar di sekelilingnya seperti tirai magis yang patuh, menyisakan celah di hadapan sosok berjubah gelap itu. Hampir menjatuhkan oborku, kuhunuskan pedangku di udara seketika itu juga.

"Siapa kau??" seruku lantang, Flinn serta-merta memasang posisinya jauh-jauh dari kelima patung itu.

Dari tempatku berdiri, cahaya kebiruan itu hanya sanggup menerangi bayangan mulut yang tertekuk kaku di balik tudung gelapnya. Sedikit cuatan janggut kasar dan postur yang besar memberikanku kesimpulan bahwa makhluk itu adalah seorang penyihir berusia paruh baya. Aku tak pernah bisa mendeteksi aura, tetapi aku sudah dapat menilai bahwa kekuatan makhluk yang ada di hadapanku itu amat tidak bisa diremehkan.

Mulut kaku itu sedikit terangkat dan membentuk sebuah senyuman puas. Perlahan, ditariknya tudung gelap itu ke belakang, menampilkan wajah tajam seorang pria bermata ungu gelap dengan rambut kelabu panjang yang diikat dengan sulur berduri. Pandangan matanya mengarah padaku seolah-olah ia telah mendapatkan mangsa yang diincarnya.

"Keturunan Raja Claumere. Sungguh disayangkan perjumpaan pertama kita kau awali dengan nada yang begitu tak ramah." Suaranya yang berat beresonansi di ruangan gua. Desing pedang Flinn menyentak keheningan saat ia menarik benda itu dari sabuknya.

"Kubilang, SIAPA KAU?" bentakku untuk yang kedua kalinya. "Aku yakin, kau pasti yang bertanggung jawab dengan segala kerusakan yang terjadi di Briquette Attes. Apa yang kau inginkan di sini, penyihir?"

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Where stories live. Discover now