Chapter 15 - Julius Cain

971 176 38
                                    

"Tuan Putri..."

Oksigen dalam lorong gua itu kian menipis. Tapak demi tapak langkah kaki kami semakin mengubur udara dan hawa segar dari atmosfer, meski cahaya jingga dan magenta mengusir bayangan kelam di sekitar kami. Aku tidak pernah merasakan seperti apa rasanya ditimbun hidup-hidup, tetapi ini adalah pengalaman yang paling dekat dengan itu, karena di Suaka Cahaya pun, aku dan Maggie masih bisa bernapas normal. Memang dari awal aku sudah sangsi dengan gua ini, dan aku tak heran ketika di tengah perjalanan Maggie menarik tanganku dan mencegahku berjalan lebih jauh.

"Ada apa Maggie? Kau merasakan sesuatu?" bisikku ketika wajah rekanku itu tersinari cahaya jingga rambutku.

"T-tuan Putri ... aku merasa..." Genggaman tangan Maggie makin terasa menjerat. Hellbender pembaca itu memejamkan kedua matanya sambil mengerutkan alis kuat-kuat. Perlahan, dia menarikku ke balik punggungnya. Aku terhuyung kebingungan.

"Maggie?"

Napas peri itu tersendat bukan karena udara yang tipis. Sesuatu seperti meluruhkan nyalinya. Dengan gesit, dia menarik pedang dari sabuknya dan melayangkan pandangan getir ke segala arah.

Aku pun turut menghunuskan pedangku. Sesuatu pasti telah menjangkau sensor magisnya. Dan, melihat reaksinya yang didominasi perasaan keder, sesuatu itu pasti sangat berbahaya. Aku menelan ludah.

"Sesuatu datang. Gerakannya sangat cepat. Tuan putri ... kita harus segera pergi!" seru Maggie panik. Aku membelalak.

"Maggie, apa maksudmu? Kita tidak boleh mundur. Kyle dan Stella bisa saja berada di sini!"

"Sesuatu itu sangat kuat, Tuan Putri! Ia sangat gesit! Dan ... dan ... aku tak yakin aku bisa melindungi Tuan Putri—"

Aku mendengar sesuatu bergemuruh di kejauhan, seperti guntur menyelinap masuk ke dalam terowongan dan menjalar menggetarkan sekat-sekatnya. Iris mata Maggie semakin menciut. Belum pernah aku menyaksikan Maggie setakut ini seumur hidupku. Sembari mengeratkan rahangku, kupasang fokusku pada aura yang menyeruak. Aku pun merasakannya. Ini aura yang sangat tidak asing bagiku—timbul tenggelam dan masif. Seperti makhluk kegelapan yang bergerak begitu gesit ketika mereka sedang mengintai mangsa.

Sensor itu memberiku proyeksi tentang keberadaan makhluk dengan binar mata merah dan gigi taring yang tajam yang berlumuran darah. Sosok Zveon sempat terjelma di benakku sebagai salah satu dari mereka. Juga Gerard dan para penduduk yang berasal dari desa masa kecilku.

Ini aura vampir.

"Tuan Putri. Larilah," bisik Maggie sembari menyorongku mundur.

"Apa? Tidak—"

"Dia datang! Tuan Putri, AWAS!"

Suara besi-besi terhantam datang seperti sambaran kilat di atas sebuah penangkal petir, muncul dari arah yang tak pernah bisa kuduga. Maggie mengelak serangan maut itu dengan indra magisnya. Sekuat mungkin, Maggie mengayunkan pedangnya yang sudah diliputi nyala api. Tetapi, hanya Tuhan yang tahu seberapa cepat makhluk itu bisa bergerak, dan sebelum bilah Maggie menyentuhnya, makhluk itu meloncatinya dan berlari cekatan di permukaan dinding gua, begitu cepat hingga cakar-cakarnya melesat menabrakku sehingga aku terjerembab di tanah. Sebelum rasa perih itu menjalar, dadaku terasa basah, dan ketika aku berusaha bangkit dari tanah, darah perak sudah menggenangi lantai tempatku terpuruk.

"TUAN PUTRI!"

"MAGGIE!" pekikku ketika makhluk itu melesat, dalam kecepatan yang tak bisa kubayangkan. Makhluk ini mungkin sepuluh kali lebih cekatan dari ketua regu bertarung kami, Darnele Grinesthelle. Mungkin Maggie sanggup membaca gerakannya, tetapi kecepatannya tak bisa ditandingi. Wujudnya sulit kucermati ketika dia terus berputar-putar dalam lorong itu, menyabet senjata-senjata kami, hingga akhirnya, terdengar suara sesuatu yang tajam menembus daging yang lunak.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Where stories live. Discover now