Chapter 16 - Braxton Keegan

1.1K 157 15
                                    

Penyihir berjubah biru itu berdiri tegang di antara pepohonan lapuk Hutan Tor. Kepedihan terefleksi di kedua mata merah lavanya. Dedaunan hangus berhembus mengikuti angin dengan taburan pasir yang melepuhkan. Kyle dan Stella mendarat perlahan, menyambut teriakan-teriakan dengan latar api merah yang melahap sebagian rimba. Sebelum rantai-rantai pada kedua tanganku tersentak ketika aku meloncat dari sapu terbang Kyle, gemerincing itu tidak lebih dulu membuat Sang Penyihir kaget.

"Sudah merupakan tugasku untuk melindungi Tuan Putri. Jagalah dirimu baik-baik. Aku akan selalu ada untuk Tuan Putri."

Sinar oranyeku merambat mendekati penyihir itu. Tatih langkahku semakin membuatnya gamang. Isakanku tak berhenti, meratapi kepergian cahaya magenta yang terkubur lelongsoran tanah. Ketika sosok itu tiada, aku, Kyle, dan Stella telah menyusuri segala runtuhan yang tersulap menjadi bukit bergerigi. Gua itu hancur berkeping-keping dan tak menyisakan satu celah pun. Kami terus mencari sampai serdak tanah tak lagi membubung. Sementara itu, kobar api terus tersembur dari jauh. Tekadku kuat untuk menyelesaikan peperangan yang merenggut nyawa sahabatku.

Kami akan kembali untuk menemukan mayatnya.

Zveon buru-buru menarik rantai yang memborgol kedua tanganku dan menghancurkannya dengan sekali tarikan kuat. Zveon menggeram ketika besi-besi itu tercerai-berai ke segala arah. Dia marah, aku tahu dia marah. Akhirnya, kedua pergelangan tanganku terbebas dari jeratan yang memilukan itu. Luka hangus pada tanganku terlihat amat jelas sekarang. Aram temaram kelabu mewarnai kulitku, disertai kelim lecet bekas terlilit belenggu. Zveon mengangkat kedua tanganku perlahan di atas jemari dinginnya dengan ekspresi teriris. Dialirkannya sihir penyembuhan yang menyejukkan. Tatapan matanya memindai luka-luka di sekujur tubuhku. Dia menarik napas dalam-dalam.

"Siapa ... yang melakukan ini kepadamu?" tanyanya penuh emosi. Amarah itu terasa menggebu di indra magisku. Dia tak pernah semarah itu sebelumnya.

"Julius Cain, Si Vampir Putih. Dia sudah mati," sahut Stella di sampingku. Binar mata ungu Stella dan Kyle terpancar redup mengetahui apa yang telah terjadi.

Zveon menatapku pedih. "Kau terluka..."

Terdapat pula luka robek di sudut bibir Zveon disertai bercak darah kehitaman. Beberapa memar juga terlihat, meski tidak terlalu parah. Aku mengelus sudut bibirnya dengan tanganku yang lepuh. Kedua netranya tertumbuk sendu padaku.

"Kau juga terluka," kataku dengan senyuman lemah. "Itu berarti kita telah berjuang. Dan itu yang terpenting."

Aku tak memikirkan tentang luka atau sakit di tubuhku. Berkas kulit yang terbakar, hujaman batu, dan cakaran vampir ini tak sebanding dengan rasa sakit ketika bongkahan batu raksasa itu terlontar mengubur hellbender pelindungku. Senyum tulusnya berhasil merintangi siksaaan apapun demi keselamatanku. Sihir apiku kini menyembur pula di dalam dadaku dan asapnya mendorong air mataku untuk tumpah. Tak ada yang dapat menggantikan sinar magenta itu.

Stella datang membisikkan sesuatu pada Zveon, meremas pundaknya kuat. Segera setelahnya, pandangan Zveon terlihat semakin nanar.

Zveon memejamkan matanya dan memelukku seketika. Diciumnya puncak kepalaku sambil sedikit menggigil. Kusandarkan kepalaku di dadanya. Tubuh kokohnya selalu dapat menguatkanku. Aku menelan sisa air mataku dan bernapas tegar.

"Maafkan aku, ... Ziella," bisiknya pelan. "aku ... seharusnya dapat menjaga kalian berdua. Ini ... semua salahku..."

"Tidak," kataku lirih. Itu bukan salahnya. Itu salahku karena membuat gua itu roboh hingga rata dengan tanah. Teriakan Maggie yang memanggil namaku masih terngiang di telingaku, termasuk rintihannya ketika vampir itu menghisap rakus darah peraknya. Seluruh rasa sakit ini tidak mungkin bisa sebanding dengan sakit yang dideritanya. Jika aku tak berhenti memikirkan tentang Maggie saat ini, mungkin aku tidak akan bisa berdiri tegak dan terus berkabung. Bukan main, hatiku masih terguncang karenanya. Tetapi, aku tidak ingin membuat Zveon semakin hancur. Aku berusaha terlihat tabah di hadapannya.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang