Chapter 26 - Farewell, Old Friends

154 26 13
                                    

Mansion tempat kami tinggal di Hell Sidefield terlihat seratus kali lipat lebih sunyi setelah kami menapak keluar, meskipun dia hanya pernah ditempati oleh dua makhluk hellbender saja. Ukiran klasik di tiap pahatannya menjadi saksi bisu kepergian kami, tiap sudutnya kini lebih didominasi oleh kegelapan Kota Demozre. Aku menatap ke ruang-ruang mewah yang kosong dari balik jendela-jendela raksasa dan gorden-gorden yang anggun, kemeriahan mansion sedikit sirna tanpa campuran cahaya jingga dan magenta yang kerap meronainya.

Aku menundukkan pandangan dan menghela napas, ketika sisa rasa enas masih menjerat dadaku. Tak kusangka aku harus meninggalkan rumah masa depan kami di waktu yang paling terpuruk, dan aku hanya sempat meninggalkan ruah kesedihan sebagai cendera mata. Kupejamkan mata dan berdoa agar kelak, Bibi dan kaumku dapat benar-benar hidup bahagia di Hell Sidefield, berdampingan dengan makhluk kegelapan lainnya.

Di kejauhan, Zveon masih berdiri menatapku. Aku yakin, ada banyak yang ingin diutarakan sang Pangeran Kegelapan padaku. Namun, aku tak tahu bila aku dapat menerima uraiannya sekarang. Kesedihanku tertimbun dengan rasa ingin melupakan, setelah aku berusaha menatap masa depan tanpanya. Hatiku lebih dinaungi kenangan akan Suaka Cahaya, meski aku tidak akan dapat mengendus harumnya udara Fantasia Cosmo bila aku berada di sana.

Zveon menghampiriku perlahan, dan sebelum dia dapat berucap, pangeran itu menelan ludah. Mata semerah kristal hyacinth-nya menyorotku rapuh. Postur gagah itu masih terasa sangat familiar di kelima indraku, dan energi magisnya terasa menentramkan ketika dia mendekat. "Ziella ..." bisiknya sambil meraih tanganku. "aku tidak pernah ingin melepaskanmu. Aku harap, kau akan memikirkan ini lagi, sebelum kau kembali ..."

"Zveon ..." Aku berbisik, rasa nyeri kembali menjangkit di dadaku. "tapi ... aku sudah melepaskanmu."

"Mengapa kau tidak pernah mau mendengarku, Ziella? Ketika kau melepaskanku, aku berusaha untuk dapat berbicara denganmu ... tapi kau menutup pintumu rapat-rapat. Ketika aku dipaksa untuk melakukan prosesi tunangan itu, kaupikir aku melakukannya dengan sukarela?" Zveon menjelaskan dengan menggebu-gebu, sinar jinggaku terlihat seperti ilusi kobaran api yang menyemarakkan iris merahnya.

Aku memejamkan mataku, sedikit merasa pening. "Kupikir ... kau masih akan bahagia dengannya, Zveon."

Zveon membelalakkan matanya seketika. "Ziella ... tidak ... aku tidak memiliki perasaan kepadanya. Tidak kepada siapapun. Ziella ... aku hanya menaruh perasaanku padamu..."

Zveon menggenggam tanganku dan mengecupnya. Gelenyar dingin merambati lenganku dan membuatku bergetar. Dielusnya kedua bahuku untuk mengenyahkan kekakuan di tubuhku. Memori kami terpampang di pikiranku, seperti gelungan manuskrip yang tergelar lebar. Ketika kami berdansa bersama di Istana Central, tubuh kami menari beriringan dan membawa kami larut ke dalam semesta penuh kebahagiaan. Ketika ciuman kami tercipta, dan tubuh kekarnya merengkuhku, pikiran sehatku lebih memilih hidup di masa lalu, dan memutar kenangan itu berulang kali. Quartz di dalam dadaku sedikit berdegup lebih kencang, meski dadaku berkecamuk dengan emosi. Zveon tak sedikitpun meluputkan harapan dari tatapannya.

"Kita kehabisan waktu," tukas George saat kakakku itu menghampiri karena prihatin, meskipun Zveon tidak sedang menyakitiku. Sinar hijau aurora-nya menggempur sinar senjaku, melawan hawa dingin yang ditimbulkan Zveon di sekitarku. "kita hanya punya waktu kurang dari setengah hari, dan perjalanan masih panjang. Ayo, Ziella."

Ketika George menarik tanganku dan memberi gestur untuk mengikutinya, Zveon menarik tanganku yang satunya. Aku tersentak kaget, ketegangan di antara keduanya merambati otot-ototku.

"Tunggu!" pekik double-gene itu.

George menoleh dan mendecakkan lidahnya. "Ada apa, Zveon?"

"Ziella ... apakah kau tidak ingin mengucapkan perpisahan pada adikku? Dia ..." Zveon menundukkan pandangannya, membuat rambut biru ikalnya jatuh. Sorot mata merah lava itu meredup sedih. "dia sangat merindukanmu, dan mengkhawatirkanmu. Aku yakin ... kau ingin mengucapkan salam perpisahan dengannya. Kumohon."

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Where stories live. Discover now