Chapter 8 - The Last Party

5K 480 125
                                    

Will you still love me when I'm no longer young and beautiful?

--(Lana Del Rey, Young and Beautiful)

***

Sepiring telur mata sapi  dengan beberapa daging asap ditambah segelas minuman jeruk telah  terhidang. Deretan alat makan tersusun rapih di sisinya. Aroma bumbu  menguar memanjakan hidungku, sementara Maggie tengah berdiri sopan di  samping meja makan itu dengan mengenakan celemek putih.

"Oh, Maggie, bagaimana kau bisa mendapatkan makanan ini?"

Duduk di meja makan, aku  mengamati hiasan lilin mati dan beberapa pot bunga tengah-tengah meja.  Ruang makan itu dikelilingi tangga melingkar menuju lantai atas di mana  kamar-kamar tidur berada. Rangkaian kandelir kristal berjuntai dari  tengah atap, sinar fajar dari jendela membuatnya berkilauan.

Maggie tersenyum.  Pagi-pagi sekali ia sudah terbangun dan mempersiapkan air mandi,  sarapan, serta menata beberapa properti di rumah baru itu, meski aku  tahu semua dekor di dalamnya telah diatur sedemikian menawannya.

"Tuan Putri, tadi aku  mendapat kiriman stok makanan untuk beberapa hari ke depan dari utusan  istana. Kini aku bisa memasakkan makanan Tuan Putri setiap saat,"  jawabnya riang.

Aku mengerutkan alis. "Apakah kau sudah makan, Maggie?"

"Belum, Tuan Putri ..."  Aku menyipitkan mata saat Maggie menggeleng, sinar rambutnya terlihat  redup. Aku tahu ia berkata jujur. "tetapi aku bisa makan nanti. Tuan  Putri makanlah."

"Makanlah bersamaku, Maggie," ajakku sambil merekahkan senyum. "persiapkan sarapanmu dan duduklah temani aku."

Maggie terlihat agak  sungkan. Namun aku bisa membuatnya bersarapan semeja denganku. Aku  meyakinkannya kalau aku kesepian dan aku selalu ingin menghabiskan waktu  dengannya di tempat itu.

Mansion itu berisi  ruang-ruang luas dengan lantai marmer licin dan pelapis dinding bermotif  klasik. Di lantai atas ada banyak balkon yang mengarah ke segala arah  mata angin, membuatku bisa memilih pemandangan Demozre dari sudut mana  saja yang ingin aku kagumi. Dari balkon kamarku, aku selalu bisa melihat  menara-menara Istana Kegelapan yang terlihat agung di balik perkotaan.  Meski hanya aku dan Maggie yang ada di Hell Sidefield, kami selalu dapat  mendengar auman naga yang mendengung dari angkasa dan keramaian kota di  seputar kami.

Halaman depan memiliki sebuah lapangan beraspal tempat Maggie mendaratkan pyrenix  kami, pagi itu burung raksasa itu masih terlelap pulas dalam tidurnya.  Lahan berumput dikelilingi semak mawar berduri menjadi latar pemandangan  rumah-rumah megah lain yang berderet teratur. Pagar hitam berjeruji  besi mebentengi kediaman kami, Zveon pernah berkata bahwa pagar itu  dapat membuat lingkupan sihir proteksi yang kuat jika kami ingin  mengaktifkannya. Pemukiman yang menurutku jauh lebih baik dari kediaman  tersembunyiku.

Aku dan Maggie  menghabiskan waktu pagi itu dengan pemanasan rutin kami; mengitari  halaman yang luas, tetap berlatih seperti sediakala walau kami sudah  berada di tempat yang baru. Rambut panjang bercahayaku berperai di udara  ketika aku berlari, terlihat seperti lintasan ekor komet. Paru-paruku  terasa leluasa mengembang karena biar bagaimanapun udara di luar Suaka  jauh lebih baik dan menyegarkan.

Sesaat aku teringat tim  bertarungku di Suaka Cahaya. Aku mengira-ngira apa yang sedang mereka  lakukan sekarang di sana, begitu pula dengan George dan bibiku. Yang aku  tahu, tim bertarungku pasti tengah melatih kekuatan mereka di  gelanggang saat ini. Aku membayangkan apabila mereka dapat berlatih  bersamaku, berada di bawah terpaan mentari yang dihalangi awan tipis,  dunia yang lama tak melatari kami. Mungkin Darlene dan yang lain tidak  akan menjadi begitu pemarah seperti yang kuingat.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Where stories live. Discover now