2

90.6K 6.2K 60
                                    

FR POV

Sudah hampir setengah hari Riani hanya duduk di kursi sekretaris yang beberapa jam lalu menjadi kursi miliknya, bukan hanya kursinya namun seisi ruangan itu sekarang sudah menjadi miliknya dan sekaligus tanggung jawabnya, rasa gelisah dan tak nyaman masih menghantuinya. Riani masih belum terbiasa dengan semua kenyataan yang terlalu mengejutkan ini.

Tangan Riani memijit dahinya untuk mengurangi kegelisahan yang semakin memuncak itu.
"Bagaimana bisa aku mendapatkan posisi sekretaris disini, aku yakin bahwa aku mengajukan pekerjaan untuk dibagian desain saja" Riani bergumam frustasi.

"Apa yang kau pikirkan Riani, gadis-gadis diluar sana berlomba-lomba untuk memperebutkan posisimu ini, mengapa kau sama sekali tak merasa bahagia" Riani masih berdebat dengan hati dan logikanya. Keterkejutan yang dialami Riani sudah hampir membuatnya gila.

"Riani kau harus bisa  memperankan peran menjadi seorang sekretaris pribadi yang profesional" ucapnya dengan percaya diri

Namun detik berikutnya ekspresi lesu, lemas dan keputus asaanya kembali datang.
"Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang?" Matanya menatap tembok didepannya. Tubuh itu merosot. Meja besar dihadapannya menjadi penopang dagunya.

Krrriiinnggg....

Tiba-tiba saja Riani melonjak kaget dan mengarahkan pandangannya ke arah telepon yang berdering nyaring di ruangan itu. Dengan tangan yang ragu-ragu perlahan Riani mengangkat teleponnya.

"Kau keruangan saya sekarang" suara dingin dari seorang pria dari ujung telepon membangunkan bulu kuduk Riani. seketika telepon diputus. Riani masih terbengong memandangi gagang telepon digenggamannya.

"Siapa barusan? Dan dimana ruangannya?" Ucapnya syok. Riani bangkit dari duduknya frustasi, beban di kepalanya kian memuncak.

Riani membuka pintu dengan hati-hati. Kepalanya ia julurkan keluar menoleh kanan dan kiri koridor sempit yang sepi.

"Kemana aku harus melangkah, dan sepertinya tidak ada karyawan yang ada di lantai ini, bagaimana aku bisa bertanya" Riani berkata pelan.

Akhirnya gadis itu pun mengurungkan niatnya untuk keluar dari ruangannya.

"Tunggu, aku bisa menelefon Viona, siapa tau dia bisa membantuku, iya benar" Riani berbicara sendiri sambil menutup pintu itu.

Sebelum Riani berbalik untuk menelepon Viona, Riani merasakan ada sosok tinggi di belakangnya, siluet sosok itu memantul dari pintu dihadapannya, degup jantung Riani sudah tak terkendali, rasa takut menyelimuti dirinya.

"Siapa kau, jangan ganggu aku, apa kau penghuni lama ruangan ini, maaf aku tidak permisi" Ucap Riani ketakutan, mata ia pejamkan, selanjutnya ia pasrah  membaca doa-doa yang ia bisa berharap sosok yang sedang dibelakangnya pergi menjauh darinya.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya suara pria di belakangnya.

Sontak Riani pun membalikkan badannya. Mata Riani mebulat rasa terkejut menghinggapi dirinya. Tangan Riani menutup mulutnya yang ber o ria. Pandangan Riani jatuh kepada sosok pria tampan di depannya yang sedang mengerutkan dahinya.

"Tu.. Tuan Orlando bagaimana anda bisa masuk keruangan saya?" Tanya Riani tak percaya.

"Kau lama sekali" ucapnya dingin, dia membalikkan tubuhnya dan berjalan angkuh ke dinding diseberang kursi dan meja tempat Riani duduk tadi.

Riani mengikuti sosok itu dibelakangnya. Gadis itu baru menyadari siapa yang meneleponnya barusan, dan Riani kembali terpana dengan pintu rahasia yang menghubungkan ruangannya dan ruangan bosnya itu.

"Jadi apa yang sedang kau lakukan di depan pintu barusan? " Tanya Orlando yang sekarang duduk dikursi kebesarannya.

Riani yang duduk dihadapannya hanya menunduk menghadap meja yang membatasi gadis itu dengan pria yang sedang menunggu jawabannya dengan tatapan mengintimidasinya.

"Saya berniat mencari ruangan anda tuan" jawab Riani lirih.

"Lalu?" Tanya Orlando singkat

"Saya mengurungkan niat saya, dan saya berniat menelepon Viona untuk membantu menemukan ruangan anda" ucap gadis itu jujur.

"Dan sepertinya tadi kau menganggap kehadiranku seperti setan?"

Riani pun menatap wajah tampan itu, rona merah tampak di pipi Riani, malu mengingat kejadian beberapa menit yang lalu.

"Itu.. itu.. karena saya tak tahu jika ada pintu rahasia di ruangan saya yang bisa membuat sesorang masuk ke ruangan saya, maafkan saya tuan" jawab Riani merasa bersalah. Kedua tangan Riani sudah dingin dan berkeringat. Degup jantungnya pun masih berdetak kencang.

"Aku baru bekerja beberapa jam yang lalu, sepertinya aku akan di pecat karena kebodohanku menganggap bos tampanku ini sesosok setan, itu terlalu konyol Riani" ucapnya dalam hati sana.

"Kembali keruanganmu" dua kata yang keluar dari bibir orlando membuat riani kaget.

"Pak.. eh maksud saya tuan, apakah saya dipecat?" Tanya Riani dengan suara sekecil mungkin.

"Apa maksudmu, kau ingin dipecat?" Orlando mengangkat  alisnya heran.

"Bu..bukan begitu pak.. eh tuan maksud saya" Riani jadi salah tingkah

"Saya hanya menyuruhmu kembali ke ruanganmu" tunjuk  orlando ke ruangan Riani yang ada di sebelahnya.

"Baik tuan" Riani beranjak dari tempat duduknya dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu rahasia.

"Apa aku semenakutkan itu dimatamu hingga kau segugup itu? "

Suara bass itu menghentikan langkah Riani, badannya membeku seketika, wajah hingga telinganya memanas mendengar ucapan bosnya itu. Tanpa berani menoleh riani membalas ucapan orlando itu
"Tidak... tuan" lalu dengan tenanga yang masih tersisa Riani berlari kecil meninggalkan ruangan itu tak tahan untuk lama-lama berhadapan dengan bosnya itu.

"Rianiii... kau pasti memasang wajah bodoh di depan bos mu itu" ia merutuki dirinya sendiri setelah ia berada di ruangannya.

Ditunggu vote dan komennya,
Salam hangat.. :D

UnpredictableWhere stories live. Discover now