54. Mengawal Nenek Aneh

2.8K 59 1
                                    

Setelah mengusap mulutnya yang berdarah, Linghu Chong berkata, "Nenek, bagaimana kabarmu setelah beberapa hari ini kita berpisah?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah mengusap mulutnya yang berdarah, Linghu Chong berkata, "Nenek, bagaimana kabarmu setelah beberapa hari ini kita berpisah?"

"Tuan Muda sudah banyak kehilangan tenaga. Silakan duduk beristirahat saja," kata Si Nenek dari dalam gubuk.

Linghu Chong memang merasa seluruh badannya sudah lemas lunglai. Mendengar ucapan Si Nenek, ia pun duduk di tanah. Lalu terdengar kembali suara kecapi mengalun dari dalam gubuk tersebut. Suaranya bening dan merdu. Linghu Chong merasa badannya segar bagaikan dialiri oleh suatu aliran dari mata air pegunungan, yang perlahan-lahan dituang ke seluruh anggota badannya sampai ke tulang belulang. Tubuhnya kini terasa sangat ringan seperti melayang-layang tinggi di angkasa, bagaikan kapas tertiup angin.

Selang agak lama, suara kecapi itu makin lama makin rendah, sampai-sampai tak terdengar lagi dan entah mulai berhenti sejak kapan. Ketika Linghu Chong merasa semangatnya sudah bangkit, segera ia berdiri dan memberi hormat dalam-dalam, sambil berkata, "Terima kasih banyak atas alunan musik Nenek yang anggun sehingga aku banyak mendapat manfaat darinya."

Si Nenek berkata, "Tanpa kenal bahaya kau telah menghalau musuh untukku sehingga aku tidak sampai dihina oleh kawanan bangsat itu. Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu."

"Mengapa Nenek berkata demikian? Aku hanya melakukan sesuatu yang harus dilakukan," ujar Linghu Chong.

Nenek itu tidak bicara lagi. Hanya kecapinya yang terdengar mengeluarkan suara denting yang lembut dan perlahan. Sepertinya tangan Si Nenek tetap memetik kecapinya, namun pikirannya sedang melayang-layang seolah sedang memikirkan suatu permasalahan rumit. Selang agak lama barulah ia bertanya, "Sekarang kau akan ... akan pergi ke mana?"

Pertanyaan itu membuat darah Linghu Chong kembali bergolak memenuhi rongga dadanya. Dunia ini begitu luas tetapi seakan-akan tidak ada lagi tempat berpijak untuknya. Tanpa terasa ia pun terbatuk-batuk, dan setelah bersusah payah menghentikan batuknya, pemuda itu menjawab, "Aku ... aku tidak tahu harus ke mana lagi."

"Apa kau tidak ingin mencari guru dan ibu-gurumu? Tidak pergi mencari adik perguruanmu serta ... serta adik kecilmu?" tanya Si Nenek.

"Aku tidak tahu mereka pergi ke mana. Dengan luka seperti ini, aku tidak sanggup mencari atau menyusul mereka. Andai saja dapat menemukan mereka juga ... juga, aih!" jawab Linghu Chong. Sambil menghela napas panjang, ia berpikir, "Seandainya aku dapat menemukan mereka, lantas bagaimana? Mereka juga tidak menginginkan aku."

Si Nenek bertanya, "Lukamu tidak ringan, mengapa kau tidak mencari tempat yang indah untuk menghibur hatimu yang lara daripada harus berduka dan menyesal percuma?"

"Hahaha! Ucapan Nenek benar juga," jawab Linghu Chong sambil bergelak tawa. "Sejak dulu Linghu Chong tidak pernah memikirkan soal hidup dan mati. Kalau begitu sekarang juga aku mohon diri untuk turun gunung. Aku akan pergi berpesiar mengunjungi tempat yang indah dan bersenang-senang." Usai berkata demikian, ia lantas memberi hormat ke arah gubuk, kemudian memutar tubuh dan melangkah pergi.

Pendekar Hina Kelana (Xiaou Jianghu) - Jin YongWhere stories live. Discover now