14: Kesalahan

319 19 3
                                    

14
Vira

"Bubar jalan!"

Akhirnya, kalimat yang kutunggu-tunggu diserukan. Segera aku pergi dari lapangan itu, lalu ke UKS.

Ayra pingsan saat upacara. Sesungguhnya aku ingin langsung menghampirinya tadi, namun aku masih bertugas. Aku tak ingin mengecewakan guru yang telah memlihku.

Saat sampai di UKS, aku langsung disorot dengan tatapan kesal dai Maritza. Ayra sudah terjaga, tubuhnya terkulai lemas di atas ranjang. Ia juga menatapku, namun tatapannya kosong. Tetapi aku dapat melihat guratan kesedihan disana.

Kami kembali ke suasana ini. Bertiga seperti dulu lagi, tapi...

"Ngapain kesini eh?" tanya Maritza dengan judes. "Jengukin Ayra? Telat lo, telat. Kenapa ga tolongin pas upacara tadi?"

"Kan aku lagi jadi petugas, elah," tak sengaja aku mengucapkan kata 'elah' yang membuat pandangan Maritza padaku jadi semakin mengesalkan.

"Kalau ga kesini juga gak papa kok," sindir Ayra. Lemes-lemes gitu juga masih sempat, ya, menyindirku?

Haruskah aku mengungkapkan semuanya? Sungguh, aku ingin mengatakan hal yang sebenarnya terjadi, fitnah yang menimpaku dari entah-siapa, tapi apa tanggapan mereka nanti?

"Ya, jenguk sahabatku boleh, kan?" akhirnya aku menemukan jawaban yang tepat.

Maritza menatapku dengan sinis. Rasanya aku sudah terbiasa dengan tatapan itu darinya, sudah kuterima tatapan itu setiap hari mulai dari saat itu. "Emang kita gak tau gimana kamu bilang ke Danny kalau kamu benci sama kita, hah?"

Benar kan. Mereka membaca surat itu, mereka mempercayai bukti-bukti yang sebenarya hanya kebohongan belaka. Hatiku memanas.

"Emang aku gak tau soal surat fitnah dari orang yang kita gak kenal itu hah?" balasku. "Please, Mar, Ay! Kalian percaya sama orang yang belum kalian tau? Kalian percaya sama bukti yang belum dicek kebenarannya? Kalian lebih percaya sama orang itu dari pada sama sahabat kalian sendiri?!"

"STOP! Aku ga suka denger orang teriak-teriak! Aku udah cukup pusing gara-gara kepanasan di lapangan tadi, ga mau pusing-pusing dengerin teriakanmu lagi disini!" seru Ayra dengan kesal.

"Makanya, kalau mau upacara tuh siapin fisik! Masa belum sampe upacara selesai udah pingsan? Lemes amat mbak!"

Ehm... ups. Aku tak bermaksud mengatakan itu.. itu, kuakui, sedikit... kasar..?

Wajah Ayra memerah. Entah karena masih kepanasan atau.. menahan marah. "Kontrol omonganmu ya! Kamu ga tau yang sebenernya jadi diem aja! Kalau cuma buat ngejekin mendingan ga usah jengukin!"

Aku terkesiap. Salahku. Ini tadi salahku. Kali ini bukan gara-gara fitnah. Murni kesalahanku yang tak bisa mengontrol emosi dan ucapanku..

"Udah, keluar sana! Rusuh lo, tau gak?" usir Maritza. Ia mendorongku pelan ke arah tirai yang membawaku keluar dari ruangan itu. Dorongannya tak kuat, tapi toh aku juga ingin keluar. Aku memang membuat suasana jadi nggak enak.

Aku berlari entah kemana, entah mau mengambil tasku, atau ke tempat Danny, atau langsung pergi dari sana karena malu udah teriak-teriak. Wajahku kututupi dengan kedua belah tanganku, air mata mulai menetes, membasahi kulitku. Fitnah ditambah kesalahanku sendiri, lengkap sudah. Sekarang aku sadar semuanya takkan kembali seperti dulu lagi.

Real Friends? ✔Where stories live. Discover now