35: You

203 11 4
                                    

35
Vira

Kondisi Ayra semakin kritis. Maritza dan aku hanya bisa duduk di depan ruangan Ayra sambil terus meneteskan air mata. Maritza tak sesedih aku, dia lebih bisa menahan tangis.

Maritza mengusap air matanya, mencoba berhenti bersedih. Ia menepuk punggungku dengan pelan. "Vir, jangan nangis lagi dong. Aku juga berusaha berhenti nangis," ucapnya. "Kalau memang bener Ayra harus pergi, aku nggak mau hal terakhir yang dia lihat adalah kedua sahabatnya bersedih."

Namun itu justru membuat tangisanku semakin menjadi-jadi.

"Ssshht, Vira! Please," Maritza mengusap telapak tanganku dengan lembut. "For our best friend.

Aku masih tak bisa menerima kenyataan bahwa penyakit Ayra begitu parah. Aku tak mau Ayra pergi begitu saja. Dia masih terlalu muda dan terlalu baik untuk meninggalkan dunia secepat ini.

Sekuat tenaga kucoba untuk menahan air mataku agar tidak jatuh bercucuran lagi. Tapi justru tangisanku semakin parah.

Maritza menggaruk kepala yang tidak gatal. "Duh, Vir, gimana caranya biar kamu bisa tenang? Mau aku panggilin Danny?"

Aku bingung antara harus menggeleng atau mengangguk. Biasanya Danny bisa membuatku tenang, menentramkan hatiku yang sedang resah untuk sesaat.

Tapi itu dulu. Sebelum Adina datang.

Belum sempat aku menjawab, Maritza sudah menelpon Danny.

"Halo? Danny? Bisa ke sini? Sahabatmu butuh.... bantuan. Iya. Nanti aku samperin kalau kamu udah sampe. Oke, makasih!"

Aku menatap Maritza dengan tatapan aneh yang sudah Maritza ketahui artinya.

Maritza berdecak kesal. "Lah? Nggak mau aku panggilin Danny?"

Aku hanya menggeleng. "Nggak apa-apa."

Hampir setengah jam berlalu. Tak ada dokter yang mengabari kami tentang keadaan Ayra, jadi kami hanya bisa terus menunggu dalam kecemasan.

"Ayra gimana..." desahku.

"Dia bakal baik-baik aja," jawab sebuah suara. Tapi itu bukan suara Maritza. Suara yang rendah dan serak. Suara laki-laki.

Aku menengadah dan mendapati Danny tersenyum di depanku.

Aku tersenyum samar.

Danny duduk di sampingku, dan entah kenapa Maritza justru berdiri dan berjalan pergi entah ke mana.

"Tenang aja," ucap Danny. "Ayra bakal baik-baik aja kalau sahabatnya selalu setia nungguin dia."

"Hm?" Aku menoleh ke arah Danny, kemudian menyeringai. "Enak ya jadi Ayra. Selalu punya sahabat yang setia."

Danny menaikkan alis, tidak mengerti.

Aku menunduk, tak berani menatap matanya. "Ketika dia menjauhiku, selalu ada Maritza di sisinya. Ketika dia sakit, aku dan Maritza senantiasa menunggu kabar tentangnya.

"Ya, sebenernya sih, aku udah punya mereka berdua sekarang. Tapi tetap aja rasanya ada yang kurang."

Dapat kurasakan tangan Danny hinggap di atas tanganku.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku mendengus. "Nggak usah pura-pura nggak tau."

Cowok itu menatapku dengan bingung. "Aku memang nggak tau. Nggak ngerti."

Sekarang aku memberanikan diri untuk menatap matanya. "Aku masih merasa bahwa ada sudut kosong di hatiku. Kenapa? Karena sahabatku, yang seharusnya adalah sahabat terbaikku, tiba-tiba saja seakan menghilang. Seperti disibukkan hal lain."

Sekarang Danny tau maksudku. Ia mendesah. "Maafin aku, Vir. Tapi aku rasa, justru kamu yang menjauh dari aku. Tadi pagi kamu jutek mulu kalau diajak ngomong."

Dalam otakku, telah ada banyak persediaan kata-kata pedas untuk kulontarkan pada Danny. Tapi alih-alih mengatakannya, aku justru bicara dengan sangat pelan dan lembut.

"Waktu aku terjebak di gudang, kamu kemana? Saat aku bersedih karena sahabatku yang lainnya sakit, kamu kemana?"

Danny menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku..."

"Hei, jangan pikir aku nggak tau kalau waktu aku lagi terjebak itu kamu lagi jalan-jalan sama pacarmu," akhirnya kata-kata pedas itu ke luar.

"Adina bukan siapa-siapaku lagi, Vir," Danny membela diri. "Dan dia nggak pernah jadi pacarku!"

Aku tersenyum menyindir. "Oh ya? Lalu tadi pagi, kenapa nggak mau ikut aku sama Maritza kesini? Kenapa kamu baru kesini waktu Maritza nelpon kamu?"

"Oke," Danny menghela napas. "Tadi pagi aku memang ada janji sama Adina."

"Nah," aku tersenyum penuh kemenangan. Sulit juga tersenyum saat hati sedang sakit.

Tangan Danny menggenggam tanganku semakin erat. "Tapi dia mau ketemu sama aku karena dia mau bilang kalau-"

"Kalau dia suka sama kamu juga, hm?"

"Bukan,"  dengan cepat Danny membantah. "Kata Adina, dia udah punya pacar."

Sekarang aku bingung harus turut prihatin pada Danny atau Adina, atau tertawa terbahak-bahak.

Dan dengan bodohnya aku memilih opsi terakhir.

"JIAHAHAHAHA!" aku tertawa.

Danny menatapku seakan aku adalah ayam yang berfragmentasi. Pikiran itu membuat tawaku semakin kencang lagi.

"HAHAHAH!" aku menutup mulut, berusaha menghentikan gelak tawaku yang bodoh itu. "Haduh, Dan, kayanya itu kampret moment banget, ya?"

Anehnya lagi, Danny justru terkekeh. Sepertinya ingin tertawa juga, tapi sulit ia lakukan secara ia sedang sakit hati.

Tapi ternyata tidak.

"Nggak terlalu kampret kok, karena, sebelum Adina bilang itu, aku sadar sesuatu," kata Danny sambil nyengir.

"Apa?"

Cengiran Danny semakin lebar. "Inget waktu dulu dengan polosnya aku bilang ke kamu kalau aku suka kamu?"

Kurasa sekarang ada semacam semburat merah di pipiku. "Ehm, yaa, lalu?"

"Rasanya aku pengen kaya gitu lagi, Vir."

Salah tingkah, membuatku justru menggebuk punggungnya dengan keras.

"Duh.."

"Makanya jangan bikin orang salting!" aku berteriak setengah berbisik. Eh?

Danny sekarang benar-benar tertawa. "Ya, intinya gitu lah pokoknya. Aku baru sadar kalo selama ini aku cuma sekedar tertarik sama Adina. Tapi aku masih suka sama-"

"Stop," aku mengentikan Danny sebelum ia mengatakan sesuatu yang menggelikan.

"Hahaha, oke," Danny tertawa lagi.

Kami banyak diam setelah itu. Yang kurasakan hanya lengan Danny merangkulku.

"It's you," bisiknya. "Always you."

Real Friends? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang