22: Pengakuan

236 20 1
                                    

22
Vira

Suasana cukup ramai, semua saling ngobrol, tapi tidak denganku. Anita ketawa-ketawa sama Dylan. Dave main HP. Danny ngobrol sama si Adina Adina itulah.

Aku menepuk pundak Dave yang duduk di sebelahku. Dia juga nggak ada temen ngobrol, kan?

"Oy," Dave menanggapi. "Gimana gimana?"

"Kayanya pada sibuk semua ya," ucapku asal.

Dave mengangguk. "Iya. Lagi pada PDKT semua.

Sebelum mengiyakan, aku tersadar bahwa "pada PDKT semua" itu juga termasuk Danny dengan Adina..

"Kayanya sih."

"Terutama si Dylan tuh," tambah Dave.

Aku mengangguk, kali ini mengiyakan. "Si Anita aja sering ngomong sama aku tentang Dylan. Kalau Dylan-nya?"

"Gak tau," jawab Dave sambil mengedikkan bahu. "Dia ngomong ke aku aja ga pernah."

Oiya, baru inget. "Oh, oke oke."

Aku menyeruput es tehku sambil menahan dingin. Udah air es, masih dikasih es batu. Bikin ngilu. Mau pesen minuman lain tapi mager.

"Eh," tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

Aku menoleh. Oh. Danny.

"Vir, sini deh, ada yang mau aku omongin," katanya. Ia menarik tanganku perlahan keluar kafe.

Kami berdiri di teras kafe yang terlihat indah, lampu-lampu gantung kecil bersinar, mengelilingi tembok kafe bagian atas. Di luar sudah gelap, itu membuat sinar lampu tadi terlihat semakin terang.

"Ngomong apa?" tanyaku langsung.

Danny mengambil napas dalam-dalam. "Tapi... janji. Habis ini jangan marah sama aku."

Aku terkekeh. "Gak ada gunanya marah ke sahabatku."

"Iya ya," Danny tersenyum. "Jadi gini..

"Inget pertama kali aku nyebut nama Adina? Yang di kelas Matematika waktu itu. Itu sehari setelah Adina pindah kesini," ia memulai.

"Yaa... Lalu?"

"Dan ya.. Tanpa kamu tau, sejak saat itu aku mulai deket sama Adina."

Perasaanku campur aduk. Ada perasaan aneh, prasangka buruk yang muncul. Banyak yang ingin kukatakan, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirku.

"Kok diem aja? Marah ya? Maaf aku gak kasih tau dari kemarin," kata Danny, wajahnya terlihat khawatir.

"Kamu deket sama Adina. Pantesan sekarang jadi jauh sama aku," ucapku pelan. "Lanjutin."

Danny menghela napas. "Maaf."

"Gak papa."

"Emm.. Jadi gini... Sepertinya.... aku... ada perasaan sama Adina."

KAN BENER. (2)

Mau bilang apa lagi aku?

"Vir.. Kayanya aku suka sama Adina."

"Wah, hebat lo Dan," ceplosku. "Hebat ya. Iya. Hebat banget. Jadi kapan dia mau kamu bunuh, eh, tembak?"

Danny menaikkan sebelah alis. "Gak sekarang lah, ga cepet-cepet."

"Cepetan keburu diambil orang," tambahku sekenanya, lalu aku langsung berjalan pergi. "BTW, habis itu ga usah deket-deket sama orang yang kamu sukain duluan ya!"

Aku marah, nggak tau kenapa.

Dan Danny tau itu.

"Vira! Kan udah kubilang jangan marah!" serunya.

Aku tak menjawab. Dalam hati aku bersyukur kunci kamarku dan Anita ada di saku jeans-ku. Jadi aku bisa kembali ke kamarku sekarang. Sendirian di kamar, menumpahkan semua perasaan anehku, kemarahanku, semuanya. Aku tak peduli apa alasannya aku marah seperti ini.

Danny sekarang udah nggak suka sama kamu, Vir.

Sesekali aku menoleh kebelakang. Memastikan Danny tidak mengejar.

Dia cuma bakal ngejar kalo kamu itu Adina, Vir.

Dan dalam hati aku tau, perasaan aneh ini bukan sekedar khawatir kalau dia akan jadi menjauh dariku, sahabatnya sendiri.

Kamu itu cuma sahabatnya Vir.

Bahkan sebentar lagi kamu bakal gak dianggep sahabatnya lagi.

Enggak, aku sudah menganggapnya lebih dari itu.

-

Sedih amat rank-nya buku ini turuunnnn jauh :( pada ga suka ya?😭 dari #788 jadi #906 in Teen Fiction🙁 sorry ya kalau pada gak suka :( padahal masih lama ini tamatnya...
Ah udahlah, mungkin tambah banyak cerita yg lebih bagus :)

Real Friends? ✔Where stories live. Discover now