36: Karena Sahabat

249 11 0
                                    

36
Ayra

Rasa sakit tak tertahankan menjalar di kepalaku yang tak berambut. Sekuat tenaga kucoba menahannya, tapi sia-sia.

Tanpa siapapun memberi tahu, aku sudah mengerti sendiri. Sebentar lagi aku harus meninggalkan dunia.

Kedua orang tuaku di sisi kanan ranjang menggenggam tanganku sambil terus menitikkan air mata mereka. Tidak membantu untuk sekarang. Aku bahkan tak mendengar sedikitpun hal yang mereka katakan.

Alat-alat medis di sekelilingku, alat-alat yang sangat canggih dengan teknologi paling maju. Tapi seakan sudah tak berguna lagi untuk melawan penyakitku.

Mataku terpejam. Yang kudengar adalah suara alat-alat di sekelilingku, isak tangis, dan derap langkah. Entah siapa yang datang. Yang jelas aku yang akan pergi.

Sudah kupasrahkan semua kepada Yang Maha Kuasa. Aku tak bisa melawan lagi, itu malah akan membuatku semakin menderita.

Napasku semakin pendek-pendek. Pasti sekarang kulitku memucat, bibirku membiru. Kurasakan usapan halus di pipiku, tanpa tahu tangan milik siapa yang melakukannya.

Sekarang sepertinya adalah saat terakhirku menarik napas. Maka kutarik napas panjang-panjang, tarikan napas terpanjang yang pernah kulakukan seumur hidup.

Tetapi, aku merasakan sesuatu yang janggal.

Ada seseorang yang sepertinya melepas alat-alat medis yang menempel di tubuhku. Lalu kurasakan genggaman erat di kedua telapak tanganku.

Air mata menitik di pipiku, tapi itu bukan air mataku. Aku tidak menangis, tidak bisa, tidak sanggup. Itu air mata orang lain yang jatuh ke pipiku.

Mataku terpejam, napas terakhir itu tak kunjung terjadi. Kupikir penderitaanku akan berakhir. Tetapi keajaiban selalu datang di waktu yang tak terduga.

"Ayra, kamu kuat."

Suara itu membuka mataku. Pandanganku masih kabur, tapi samar-samar dapat kulihat dua sosok di kanan dan kiriku. Bukan, mereka bukan orang tuaku. Keduanya perempuan, dan mereka tidak lebih tinggi dariku.

Saat pengelihatanku sudah membaik, barulah aku sadar siapa dua sosok itu.

Aku mencoba membuka mulut untuk berbicara pada mereka, tapi tidak bisa.

Salah satu sosok menenangkanku. "Nggak usah ngomong dulu, Ay. Pasti susah kalau sekarang."

Lamat-lamat, aku mengangguk.

"Kita panik," kata sosok yang berada di sebelah kananku. "Kita takut kehilangan kamu. Ternyata nggak jadi. Kita seneng banget, Ay."

Aku tersenyum tipis. Kucoba untuk berbicara lagi.

"I-itu semua ka-karena ka-kalian," ucapku terbata-bata. "Sa-saha-sahabatku."

Vira dan Maritza. Mereka menguatkanku. Secara tidak langsung, mereka memberiku semangat untuk hidup dan bertahan melawan penyakitku. Meski aku tak sembuh, tapi setidaknya aku selamat dari maut.

Aku selamat. Karena sahabat.

•••

Orang-orang bergantian menjenguk Ayra di rumahnya. Sore ini, Dylan dan Dave datang. Dengan mengejutkan, mereka datang berdua. Benar-benar hanya berdua.

"Gue terpaksa," bisik Dylan pada Danny yang juga berada di sana.

Danny terkekeh. "Lo geregetan pengen baikan sama sodara lo, kan? Ngaku aja deh."

"Boro-boro baikan," Dylan berdecih, "Ngobrol aja ogah."

Dave keluar dari kamar Ayra seusai menjenguk. Ia melihat Dylan sedang berbicara dengan Danny. Seperti biasa, ia ingin mengabaikan saudaranya, tapi kali ini ia merasa harus melakukan hal lain.

Semua masalah yang terjadi telah ditemukan solusinya. Tinggal ia dan saudaranya yang belum menyambungkan benang merah. Mereka hanya belum menemukan titik temu dari masalah mereka yang seharusnya mudah sekalu diselesaikan, kalau saja mereka tidak ada yang keras kepala.

Maka, Dave menghampiri saudaranya. Ia tersentuh mendengar cerita Ayra soal kedua sahabatnya yang menguatkannya hingga ia selamat dari penyakitnya meski hanya sementara.

Danny yang melihat Dave datang, langsung menjauhi Dylan.

Dylan sempat kebingungan untuk sesaat, tapi begitu melihat kedatangan Dave, Dylan mengerti kemudian memutar bola mata.

"Apa?" tanya Dylan sejutek mungkin.

"Hei," Dave mengulurkan tangannya. "Sepertinya sudah saatnya kita akhiri permusuhan tak berguna ini, Saudara."

Real Friends? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang