19: Trip

265 19 1
                                    

19
Dylan

"We're going on a trip, in my favourite rocket ship, zooming through the sky, LITTLE EINSTEINSSS!!" aku bernyanyi asal, mengundang tawa dari teman-teman yang semuanya terlihat bosan tadi.

"Rocket ship-nya bobrok gini ya," ucap Danny pelan. Pelan biar ga kedengeran guru kali ya. Karena bus yang disewa sekolah memang nggak banget. AC-nya gak adem sama sekali. Mesinnya bunyi keras banget dari tadi, bikin ga bisa tidur.

Ya, kami sekarang sedang dalam perjalanan menuju sebuah penginapan. Ini trip yang dulu disebutkan Anita. Ujian Kenaikan Kelas, kan, sudah berakhir. Nah, sebelum libur, diadakanlah acara ini.

"Bener bener," aku menyahut ucapan Danny. Lalu ngelanjutin lagunya lagi. "FIVE! FOUR! THREE TWO ONE! RRRRR─"

Pak! Kaleng bekas makanan ringan mendarat tepat di kepalaku. Aku melihat dari arah mana kaleng itu berasal.

"Berisik lo, tau gak?!" seru si orang yang melempariku. Oooh, Vira. Sahabatnya si Danny, temennya Anita. Oiya, kalo kalian penasaran Anita itu sebenernya siapaku, yaa... Status kamu mirip-mirip Vira sama Danny lah. Cuma kami ga begitu deket gitu.

"Sorry mbak, tapi ga usah lemparin kaleng juga dong!" seruku balik. Aku beralih ke Danny yang sedang main HP di sebelahku. Aku berkata kepadanya dengan suara yang lebih pelan, "Cewe lo galak juga ya."

"Hah? Emang ada Adina disini? Dia kan di bus satunya?" tanyanya spontan. Loh, Vira kok jadi Adina. Aneh dia ni─ehh, tunggu dulu. Kan dia deketnya sama Vira? Adina siapa lagi?

Ternyata Vira mendengar kata-kata Danny. "Siapa yang di bus satunya?"

"Hah?" tanya Danny untuk kesekian kalinya. "Enggak, siapa emang? Emang aku bilang apa?"

Vira menaikkan alis. "Ga tau lah."

Apaan sih si Danny. Gaje. Lagian dia kan sebenernya dia ga punya cewek. I mean, tadi aku cuma bercanda.

Atau jangan-jangan, si Adina itu...?

•••

Kami sampai di penginapan. Jaraknya memang cukup jauh dari sekolah kami, tapi tidak sampai keluar kota. Tapi tempat ini terpencil─itulah alasan mengapa para guru memilih tempat ini.

"Dylan," panggil Bu Sarah padaku. "Kamu di kamar 357 ya. Sesuai angka depannya, kamarmu di lantai tiga. Kuncinya sudah ibu kasih ke temen sekamar kamu."

Aku yang tak begitu ingin tau siapa teman sekamarku asal mengiyakan saja. Koperku cukup berat, lantaran isinya lebih banyak dari keperluan pergi selama seminggu, jadi aku kesusahan mendorongnya. Bu Sarah yang melihatku tak begitu menghiraukannya pun pergi begitu saja tanpa menolongku.

Kutarik koper itu dengan susah payah ke dalam lift.

Ugh, payah, malah nyangkut, keluhku dalam hati. Namun lalu seseorang yang telah masuk duluan membantuku dengan mengangkat koper itu. Setelah tidak menyangkut lagi, ia menjatuhkan koper itu dengan pelan di lantai lift, bersamaan dengan waktu pintu lift menutup.

Sebelum mengucap terima kasih, aku melihat terlebih dahulu siapa yang menolongku. Setelah melihat wajah itu, aku mengurungkan niatku yang tadi ingin berterima kasih.

"Sama-sama bro," ucapnya. Sebenarnya itu agak menyindirku karena aku nggak bilang makasih, tapi nadanya tidak menyindir sama sekali.

Kami berdua diam selama lift itu bergerak naik ke lantai ketiga (jadi inget cerbungku di instagram wkwk). Saat pintunya terbuka, aku keluar, mendahului orang itu. Namun ia bergerak cepat, dan berjalan di sampingku.

"Apaan sih? Ngapa pake ngikutin gue segala?"

"Kata siapa gue ngikutin lo, bro."

Ia mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya, lalu memasukkannya ke lubang kunci pintu kamar 357. Aku menganga. Lelaki itu masuk ke kamar tersebut. Ternyata dialah teman sekamarku. Dia...

... saudara angkatku.

Real Friends? ✔Where stories live. Discover now