25: "A"

238 15 4
                                    

25
Vira

Adina.

Aku berdeham. Suaraku sepertinya tercekat. Namun aku berusaha agar terdengar meyakinkan. "Bukan aku yang nge-post foto itu."

"Hm?" Adina tersenyum sinis. "Lalu siapa?"

"Kiran, mungkin?"

Adina tertawa palsu. "Haha. Kiran aja HP-nya ga dibawa."

Anita menatapku dengan iba. Dylan seperti mengisyaratkan Anita agar mereka pergi saja dari sana. Namun Anita tak menurutinya.

"Emm.. Lukman?" tanyaku lagi.

"Hahaha. Lukman kulihatin foto itu malah ketawa ngakak. Katanya 'buat apa gue nge-post foto begituan, elah. Tugas gue di akun ini kan cuma bagiin foto yang kocak-kocak doang'."

"Lah, kalau menurut dia foto kamu kocak?" ucapku sekenanya.

Dylan malah menahan tawa. Anita yang pura-pura masih mengambil minum menyikut cowok itu.

"Ngaco!" seru Adina dengan keras. "Udah lah! Banyak alesan amat sih?"

Aku mencoba mencari kata yang tepat. "Kan masih ada satu admin lagi!"

"Sasya?" tanya Adina, dan disambut dengan anggukanku. Tapi setelah itu Adina menyeringai. "Kakaknya temen sekamarku. Katanya, Sasya sakit, jadi ga ikut trip ini."

Skakmat.

Cewek itu tersenyum penuh kemenangan. "Ayo, ada alasan lagi?"

Aku menghela napas dengan pasrah. "Gimana gimana juga bukan aku yang menyebarkan foto itu."

"Buktinya banyak banget, Sayang," ucap cewek itu dengan sok manis. "Pertama, kamu ada di lokasi foto itu. Dua, kamu admin yang paling mungkin nge-post itu. Tiga, kamu sekelas sama kita."

Aku merasakan sebuah lengan memelukku dari belakang. Anita... "Diemin aja, Vir," bisiknya.

Namun Adina masih menyambung kalimatnya. "Empat... Kamu....

"Cemburu."

Sebuah seringai licik di wajahnya. Cemburu? Kata siapa?

"Oh ya?" tanyaku dengan nada sedatar mungkin.

"Mm-hmm," Adina mengangguk. "Ngaku aja deh. Lagian, kenapa kamu cari masalah sih? Udah dijauhin sahabatmu yang cewek, udah ga disukain sahabatmu yang cowok, masih mau nambah masalah?"

"DIEM!" tak sadar, aku telah membentaknya. Cerewet banget sih, cewek ini?!

Api kebencian membara di dadaku. Lalu? Mengapa jika sahabatku menjauhiku? Kenapa kalau─ tunggu.

"Kamu... Dari mana kamu tahu Ayra dan Maritza jauhin aku?"

Alih-alih menjawab, orang yang sedari tadi berbicara panjang lebar di depanku mendekat lagi ke arahku dan menggamit kerahku. Ia mendorongku perlahan ke tempat yang lebih sedikit orangnya. Anita ingin mengikuti, namun Dylan menahannya dan membisikkan sesuatu di telinganya.

Mata cokelat tua milik Adina menatapku tajam. Ia menyentuh dahiku. "Ini otak encer. Dipake buat mikir," ia menekankan kata mikir. "Please deh Vir."

Brak!

Adina mendorongku dan menjatuhkanku, punggungku terantuk tembok. Aku merintih kesakitan seiring ia tersenyum sinis.

"Kutunggu pengakuanmu, Vira."

Napasku terengah-engah. Ia pergi, lalu Anita dan Dylan langsung mendekatiku. Ada satu orang lagi di belakang mereka, yang ternyata adalah Dave.

"Vira!" seru Anita yang panik melihatku tergeletak di lantai hall.

Dave berlutut, membantuku duduk. Dylan yang ingin membantu sepertinya jadi urung niat ketika Dave sudah mendahuluinya.

"Kamu gapapa?" tanya Dave. Aku hanya mengangguk.

Anita dan Dylan ikut duduk di samping kanan dan kiri Dave. "Vira, kalau kenapa-napa bilang aja sama kita," ujar Dylan, yang lagi-lagi hanya disambut anggukanku.

Aku menyadari sesuatu yang ada di kalimat Adina. Ada maksud tersembunyi di kata-katanya.

"Orang yang memfitnahku," ucapku terpatah-patah. "Yang pertama dan kedua, itu.. orang yang sama."

Anita terlihat bingung. "Maksudmu?"

"Si "A" yang di surat fitnah dulu," jelasku. "Aku yakin. Ia adalah Adina."

Real Friends? ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt