34: Bad Feeling

225 15 3
                                    

Pagi yang dingin, berbeda dari hari-hari sebelumnya yang selalu disinari matahari dengan sinarnya yang terik. Cuaca ini membuat siapapun yang harusnya bangun pagi jadi bermalas-malasan. Termasuk Vira.

Tetapi, ia sudah berencana akan bangun lebih awal dari hari biasanya. Ia juga telah menghubungi ketiga sahabatnya untuk sampai sekitar satu setengah jam sebelum waktu masuk. Vira ingin menceritakan tentang email dari Anita, ia rasa mereka perlu tahu itu.

Area sekolah yang masih sepi menyambut Vira ketika ia sampai. Di tempat parkir, hanya ada satu motor yang Vira kenali sebagai motor milik ayah Danny. Berarti ia sudah datang. Mungkin ayahnya sedang berjalan-jalan di sekitar sekolah, jadi motornya ditinggalkan di sana.

Benar saja, di kelas mereka, Danny sudah duduk sambil menaikkan kaki kanannya di salah satu meja yang berada di barisan belakang. Danny menyunggingkan senyum simpul pada Vira, tapi Vira tak membalas senyuman itu. Hanya menatapnya dengan tatapan dingin.

Sungguh, meskipun masih menganggap lelaki itu sebagai salah satu sahabatnya, atau hanya teman saja, tetapi Vira masih sedikit menyimpan rasa kesal pada Danny sejak pengakuannya waktu itu. Entah kenapa, menurut Vira Danny seperti tak begitu memedulikannya.

"Tumben diem," ucap Danny. Vira hanya menaikkan bahu, malas menjawab. Melihat perbahan sifat cewek itu, Danny menjadi penasaran. Ia mulai merasa bahwa ia telah melakukan kesalahan. "Kamu marah, Vir?"

Vira menatap tajam ke arahnya, membuat Danny sedikit terkejut. Vira tak pernah sedingin itu. "Maksudmu apa memintaku datang lebih awal cuma untuk nyuekin kaya gini?" tanya Danny dengan berhati-hati.

"Aku mau cerita ke kamu tentang sebuah kisah dari masa laluku,"dengan cepat Vira menjelaskan, "Tapi nanti. Kalau Ayra sama Maritza udah dateng. Aku rasa aku harus kasih tau ke kalian."

Akhirnya mereka menunggu kedua sahabat Vira dalam diam. Vira benar-benar tidak punya keinginan berbicara. Danny, ia ingin mengajak Vira berbicara, tentang apa saja. Sepertinya sudah sangat lama mereka tidak berbincang akrab seperti dulu. Tapi ia tahu ia hanya akan mendapat respon dingin.

Setengah jam berlalu, Ayra dan Maritza belum sampai juga. Vira mulai merasa ada yang janggal. Bad feeling. Danny dapat merasakan itu, saat melihat perubahan ekspresi Vira.

"Ayra sama Maritza nggak sampai-sampai, ya?' tanya Danny. "Tunggu aja. Mungkin jalannya macet."

"Nggak mungkin, tadi aja sepi, kok. Dan kalau kejebak macet sekalipun, nggak bakal nyampe setengah jam. Jarak rumah mereka ke sini cuma sekitar lima belas menit," jawab Vira.

Vira mengetuk-ngetuk meja, tanda ia punya perasaan tidak baik. "Perasaanku biasanya bener, Dan. sekarang perasaanku mengatakan kalau ada yang nggak beres."

Tepat setelah kalimat Vira selesai, seseorang membuka pintu kelas. Maritza. Vira menghela napas lega, berasumsi bahwa perasaannya tadi hanya sebatas pemikiran negatifnya saja.

Tapi ternyata tidak.

"Vira, Danny!" seru Maritza. Dengan panik ia mendekati kursi tempat Vira duduk. "Ayra, Vir!"

"Kenapa?"

Dengan terputus-putus karena napas yang terengah-engah, Maritza menjelaskan. "Tadi Ayra mau berangkat bareng aku. Aku jemput dia di rumahnya. Tapi waktu mau masuk mobil, Ayra... tiba-tiba pingsan. Dan hidungnya berdarah."

Vira tersentak. "Di mana Ayra sekarang, Mar?"

"Itulah yang mau aku bilangin ke kamu," jelas Maritza, " Kita ke rumah sakit sekarang. Gimana? Ayra butuh kita sebagi sahabatnya, Vir."

Tanpa pikir panjang. Vira mengangguk. "Pasti. Ayo!"

Tapi kemudian Vira mengingat Danny yang masih duduk dengan satu kaki dinaikkan, tak jauh darinya. Danny mendengarkan pembicaraan mereka dari tadi. Vira meringis, hampir saja ia lupa kehadiran Danny. "Kamu mau ikut nggak, Dan? Jenguk Ayra."

Danny menggeleng dengan spontan. Vira tak menjawab lagi, tak terpikir menanyakan alasannya menolak. Maka Vira melangkah ke luar kelas setelah memawa tasnya, mengikuti Maritza yang sudah lebih dulu meninggalkan kelas yang masih sepi itu.

•••

Mobil Maritza melaju dengan cepat. Ayah Maritza sebagai supir, ngebut agar cepat sampai di rumah sakit.

Sesampainya di tujuan, Vira segera menanyakan nomor kamar Ayra. Setelah mengetahui nomor kamar Ayra, mereka berlari menuju lantai dua, tempat kamar tersebut.

Ketika sudah bisa masuk ke dalam kamar, mereka terkejut.

Wajah Ayra membiru. Tubuhnya terlihat lebih lemas dari biasanya. Dan yang paling membuat mereka terkejut adalah, tak ada sehelai rambut pun di kepala Ayra.

Melihat dua sahabatnya terkejut di ambang pintu, Ayra tersenyum.

"Sini lah. Maaf, lupa kasih tau satu hal. Lupa bilang kalo selama ini aku pake wig."

Vira dan Maritza langsung menangis dan memeluk Ayra. Ayra hanya tersenyum, tak menitikkan air mata sedikitpun.

Maritza sesengukan. "Gila aja kamu ya. Masa pas trip ga kamu lepas sama sekali?"

"Nanti kamu jijik liat aku," jawab Ayra sambil cengegesan.

Saat kedua temannya sudah lebih tenang, Ayra berbicara lagi. "Sorry ya Mar, Vir. Bentar lagi aku bakal dahuluin kalian."

Real Friends? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang