32: Surat Lagi

219 13 0
                                    

32
Dylan

Saat mengetahui cewek itu sebenarnya lebih bad dari yang kubayangan, pikiranku menjadi kacau.

Sekarang bahkan ia pergi begitu saja, entah kemana, tanpa mengucapkan selamat tinggal, membuatku menyesal sempat tertarik padanya.

Tetapi sekarang tidak ada waktu untuk penyesalan. Sekarang waktunya mencari cewek itu ─ Anita.

Kami semua; Danny, Adina, Vira, Ayra, Maritza, aku, dan Dave (entah mengapa tiba-tiba ia muncul untuk membantu) mencari ke seluruh hotel. Aku tak tahu apakah anak-anak perempuan sudah mencari di kamarnya. Putus asa karena tak kunjung menemukannya, kami beranjak ke luar hotel lagi, mencari ke sekitar hotel. Danny dan Adina sampai nekad mencari cukup jauh, ke tempat-tempat yang mungkin Anita datangi. Tetap tak ada hasil.

Aku mencoba bertanya pada salah seorang petugas hotel. Siapa tahu ia melihat Anita. Aku menyebutkan ciri-ciri Anita pada sang petugas.

"Cewek, Mas. Rambutnya panjang, dikepang. Terakhir pake baju putih, mungkin belum ganti," jelasku.

Mas-mas itu menaikkan alis. "Pake tas selempang warna cokelat?"

Aku mengangguk.

"Bawa koper?" tanya sang petugas lagi.

Sekarang aku bingung.

"Enggak tau, Mas. Memang tadi ada.."

Sebelum kalimatku selesai, petugas itu sudah mengerti maksudku. "Iya, Dik, tadi ada cewek seumuran kamu, jalan cepet ke luar hotel ini lewat pintu belakang. Bawa koper besar."

Mataku membelalak lebar. "Se-serius, Mas?"

"Serius lah, Dik. Ngapain saya bohong."

Akhirnya aku mendesah pasrah, dan berterima kasih pada mas-mas itu. Aku menelpon Vira untuk memberi tau kepadanya agar meminta semuanya kembali berkumpul. Saat kami sudah kembali bersama, aku menceritakan ulang hal yang dibilang petugas tadi.

"Cek ke kamarnya dulu deh," ajak Vira pada Ayra. Aduh, ternyata mereka belum memeriksa ke sana. Padahal itu kan, kamarnya Vira juga.

Setengah jam kami menunggu dua cewek itu, sampai mereka kembali dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

"Barang-barang Anita sudah tidak ada," jelas Ayra. "Benar-benar tak berbekas. Seperti kamar itu hanya pernah ditempati Vira sendiri selama kita tur."

"Ralat," ucap Vira. Ia mengeluarkan kertas buku tulis yang kukenal. Warnanya merah muda. Itu milik Anita. "Ada tulisannya, kalian baca saja."

Aku mengambil kertas itu dari tangan Anita. Isinya:

Hai, Vira.

Tolong, sampaikan ini ke semua orang yang telah terlibat. Sampai ke orang-orang yang hanya mengetahui masalah ini, meskipun hanya sedikit. Ayra, Maritza, Danny, Dylan, sampai Adina bahkan Dave. Mereka perlu tahu.

Maafkan aku atas semua perbuatanku. Aku benar-benar keterlaluan. Semua masalah yang menimpamu, Vir, itu gara-gara aku. Surat fitnah, aku yang mengarangnya. Maafkan aku, Ayra, Maritza, aku telah menipu kalian. Foto 'Adanny' juga aku yang menggunggahnya. Maka aku juga minta maaf pada Adina dan Danny. Terutama kepada Adina karena Vira sempat menuduh kaulah yang jahat kepadanya. Yang jahat adalah aku. Aku ingin menjatuhkan Vira waktu itu.

Sampai kejadian terjebak di gudang. Aku pikir kalian takkan bisa lolos. Aku pikir kalian akan semakin bermusuhan setelah itu. Ternyata kamu, Vira, dengan kedua sahabatmu, justru berbaikan dan bekerja sama untuk ke luar dari gudang itu.

Tapi pasti ada alasan dibalik semua perbuatan. Aku tidak melakukan ini tanpa alasan. Aku menyimpan sesuatu selama ini. Dendam. Vir, lihat e-mail mu saat kamu sudah pulang dari tur nanti. Kau akan tahu mengapa aku menyimpan dendam.

Namun aku telah melupakannya. Sungguh. Aku meminta maaf dari lubuk hatiku yang terdalam.

Sekarang aku pergi, menjauh dari kalian. Salah satu caraku meminta maaf; menjauh. Ini akan meringankan beban kalian.

Sekali lagi, maaf.

-A

Semuanya termenung, terdiam menatap surat itu. Surat yang kali ini merupakan permintaan maaf yang tulus, bukan lagi fitnah belaka.

Perkiraan kami semua tepat. Anita-lah pelakunya.

"Kami memaafkanmu, Anita," bisik Vira. Matanya berkaca-kaca. Kami semua mengangguk, setuju.

"Kita relakan dia pergi, kemana pun itu," aku berucap. Dan lagi-lagi semuanya setuju.

Air mata Vira akhirnya menetes. "Selamat tinggal, Anita."

Real Friends? ✔Where stories live. Discover now