For the First Time

1K 25 5
                                    

Warning ⚠️ kebanyakan narasi daripada dialog

Diharapkan untuk membaca keseluruhan narasi agar memahami jalan cerita

Thank You😘
Merci Beaucoup ❣
Danke 😍

***

Ana POV

Pertama kalinya. Sungguh, pertama kalinya Papa seperti ini.

Biasanya dia membelaku.
Biasanya dia melemparkan senyuman kesukaanku.
Biasanya dia mendekapku dengan erat.

Tapi, sekarang sudah tak ada lagi papa yang membelaku, yang memberiku senyuman penuh kasih sayangnya, dan tak ada sosok yang mendekapku ketika aku sedang sedih.

Dan untuk pertama kalinya. Dia, sosok pahlawan yang selalu aku kagumi. Menamparku dan membentakku.

Untuk pertama kalinya, aku tidak melihatnya sebagai sosok yang menjadi panutanku.

Dan untuk pertama kalinya. Dylan mengacuhkanku.

***

Aku sudah frustasi.

Semua orang tidak menyayangiku. Seharusnya aku tidak hidup. Bahkan, orang yang menjadi semangat hidupku pun tidak menginginkanku.

Tuhan, aku lelah. Tolong jemput aku secepat yang engkau bisa. Aku tidak kuat dengan kenyataan ini.

Tak ada yang menginginkanku. Tak ada yang bahagia jika masih ada aku.

Aku bangkit dari tidurku. Kuambil pisau yang terdapat dilaci meja sebelah tempat tidur.

"Aku akan akhiri semua penderitaanku sekarang, kuharap kalian bahagia." Dengan cepat aku menulis surat untuk papa dan Dylan. Walaupun mereka tak membacanya, tapi aku hanya ingin menyampaikan semuanya.

Kumasukkan surat itu kedalam celana yang sedang kugunakan.

Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Aku tidak akan melepas bajuku, biarkan ia menjadi saksi bisu atas kematianku.

Kuisi air dalam bath up dan menunggunya hingga penuh. Setelah penuh, kubiarkan airnya terus mengalir hingga meluap.

"Selamat tinggal dunia." Senyuman lebar kuperlihatkan untuk terakhir kalinya. Hanya untukku, biarkan aku saja yang melihat senyuman selebar ini.

Aku mencelupkan diriku kedalam bath up sehingga air didalamnya tumpah seiring aku mencelupkan diriku makin dalam.

Aku mencelupkan kepalaku lebih dalam hingga ia tenggelam. Dan beberapa detik berikutnya aku mengangkatnya dan menarik nafas panjang.

"Sekarang saatnya." Digoreskan pisau yang dingin itu pada permukaan pergelangan tangannya. Tepat di nadi.

Perih, sakit. Tapi, aku tak bisa mundur. Sudah sejauh ini.

Tuhan, ampunilah dosaku.

Kugoreskan lagi tanganku dengan lebih dalam sehingga mengenai tepat pada urat nadi.

Seketika, darah langsung keluar dengan derasnya seiring dengan tanganku yang memegang pisau terkulai dengan lemah.

Tanganku yang penuh darah tak kuat menahan bebannya dan terkulai lemah disisi yang lain dari tubuhku.

Perih, sangat.

Lebih perih ketika kugoreskan tanganku dengan pisau.

Ya, memang benar jika darah dikenakan air akan menjadi sangat perih. Dan aku sudah merasakannya.

DylanaWhere stories live. Discover now