Kecewa?

1K 38 9
                                    

Jadi ... kita apa? -Ana

•••

Dylan berdiri di depan sebuah pagar familiar dalam penglihatannya. Ia sering melewati pagar itu untuk menemui sang pujaan hati. Ia tersenyum saat melihat lampu di lantai dua yang ia yakini kamar Ana sudah padam. Dylan berjalan menuju mobilnya yang ia parkir di seberang rumah Ana dan memasukinya.

Ketika ia hendak melanjukan mobilnya, terdengar suara gerbang terbuka di sebelah kanannya. Rumah Ana, dan di sana mobil yang sering kali Ana gunakan untuk melakukan kegiatan malamnya terlihat. Dylan mengernyitkan dahinya saat melihat mobil itu melaju meninggalkan rumah dengan gerbang yang masih terbuka.

Dylan menghidupkan mobilnya dan segera menyusul Ana yang ia rasa sudah tidur akibat kelelahan karena seharian menghabiskan waktu bersama ketiga temannya serta pasangannya.

Banyak pertanyaan melintas di pikiran Dylan, ini sudah akan menginjak waktu tengah malam dan ia sangat yakin jika Ana akan menuju tempat yang selama beberapa bulan ini tak dikunjunginya.

Dylan diam seribu bahasa di dalam mobil yang membuntuti laju mobil yang dikendarai oleh Ana. Pikirannya berkelana jauh. Banyak pertanyaan yang terlintas di benaknya, banyak kalimat tanya mengapa yang ada di benaknya.

"Sebenarnya ... apa hal yang gak gue tahu tentang lo, Na." lirih Dylan memijat pelipisnya pelan.

Seperti dugaannya tadi, Ana memasuki area yang ramai dengan lautan gadis yang berpakaian minim dan lelaki yang menyembulkan asap rokok serta sebuah minuman beralkohol di tangannya. Ana keluar dari mobilnya dengan pakaian kaos putih dan celana jeans panjang membuat Dylan menghela napas bersyukur.

Ketika Ana baru saja turun dari mobilnya, seorang lelaki dengan penampilan urakan, namun tetap menunjukkan ketampanannya berjalan mendekati Ana dengan senyum lebarnya dan merangkul Ana membawanya ke dalam pelukannya. Tak lama, Ana meronta dalam pelukan pria itu dan memukul lengan sang pria yang tertawa melihatnya.

Tak lama kemudian, Dylan melihat Ana dan pria itu memasuki mobil dengan Ana yang duduk di balik kemudi. Perlombaan dimuali dengan sangat meriah dan Dylan dengan berat hati membiarkan Ana melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh melewati mobilnya. Tak lama berselang, mobil yang dikemudikan Ana mulai menampakkan diri menuju garis finish disambut dengan sorak riuh dari orang-orang yang berdiri bergerombol di kedua sisi jalan tempat area balapan berlangsung.

Rupanya, setelah Ana meninggalkan area balapan, ia tak langsung pulang melainkan melajukan mobilnya mengitari sebuah jalan selama beberapa kali dan akhirnya menuju ke jalan rumahnya. Dylan mendesah lega, sekarang sudah pukul tiga pagi dan matanya masih mengikuti langkah kaki Ana menuju pintu rumahnya yang dibukakan oleh asisten rumah tangganya dan menghilang di balik pintu putih itu.

Ketika ia ingin melajukan mobilnya meninggalkan rumah sang pujaan hati, ia terdiam menyaksikan lampu di kamar Ana tak kunjung padam dari sepuluh menit yang lalu. Ia bergegas meninggalkan mobilnya yang terparkir rapi di seberang rumah Ana dan menekan bel pada pagar dan seorang pria paruh baya berseragam putih menyambutnya.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya pria paruh baya berseragam putih itu menatap Dylan dengan heran, ya, bagaimana tidak heran, ia berkunjung saat jam menunjukkan pukul 3 pagi.

"Saya mau cari Ana, mau mastiin kalau dia sudah sampai rumah dengan selamat." Pak Dio membukakan pintu pagar dengan lebar dan menuntunnya menuju pintu putih yang dibuka oleh asisten rumah tangga Ana.

Setelah Pak Dio mengatakan maksud kedatangan Dylan, Bu Ijah mengantarkan Dylan menuju kamar Ana dan terdiam di depan pintu bersama Dylan menyaksikan momen tragis di depannya. Ana dan darah.

"Mbok, tolong ambilkan obat-obatan," kata Dylan berusaha tak panik serta mengangkat tubuh lemas Ana yang bersandar di sisi ranjang dan memindahkannya berbaring di ranjang. Bi Ijah datang membawa kotak putih bertuliskan P3K dan memberikannya ke Dylan sebelum keluar dari kamar Ana dengan perasaan cemas.

Dylan mulai mengobati darah yang masih mengalir di kedua lengan Ana dengan sesekali meringis melihat Ana seperti kesakitan di dalam tidur nyenyaknya.

"Kayaknya ... gue gak tau apa-apa tentang lo, Na." lirih Dylan setelah mengobati luka di kedua lengan Ana dan mengemasi obat-obatan yang ia gunakan tadi. Ia mencium kening Ana sejenak dan melangkahkan kakinya meninggalkan kamar sang pujaan hati dengan Ana yang tertidur pulas.

Dylan menutup pintu kamar Ana dan membalikkan badan menghadap Bi Ijah yang menunggunya sedari tadi dengan raut wajah cemas.

"Bagaimana keadaan Non Ana?" tanya Bi Ijah khawatir.

"Ana baik-baik aja, Bi. Lukanya sudah saya bersihkan. Mungkin untuk sementara orang tuanya jangan diberitahu dulu, ya, Bi." Bi Ijah mengangguk dan mengantarkan Dylan ke depan gerbang.

Dylan menghela napas gusar sebelum melajukan mobilnya menuju rumah. Pasti, Bunda saat ini khawatir.

"Ke mana aja, jam segini baru pulang?" tanya Bunda saat Dylan baru saja membuka pintu utama dan tampaklah wajah sangar sang Bunda yang siap menerkamnya jika alasannya tak masuk akal.

"Hehehe ... biasa, Bun, anak muda," sahut Dylan dengan cengengesan

"Yaudah, sana masuk. Lain kali gak ada kayak gini, ya, Dik."

"Iya Bunda cantik." Dylan mencium pipi Bunda dan berlari menuju kamarnya sebelum sang Ayah yang sedari tadi hanya diam melihatnya kini bergerak untuk menyiksanya karna sudah lancang mencium sang istri.

Di dalam kamarnya, Dylan membaringkan diri dan menatap langit kamarnya. Membayangkan wajah bahagia Ana saat bersama dengan kedua sahabatnya. Sesuatu yang sangat jarang ia lihat beberapa bulan semenjak ia mengenal Ana.

Namun, bayangan akan senyuman Ana kian lama kian menghilang digantikan dengan raut wajah sedih yang membuat Dylan termenung di tempatnya.

"Sebenarnya, apa yang terjadi?"

"Lan, lo gak ngehubungin Ana?" sang pemilik nama menolehkan kepalanya ke arah Reno yang menunjukkan pesan singkatnya dengan kekasih dengan isi menanyakan apakah Dylan berbuat salah dengan Ana, karena setiap mendengar nama Dylan tersebut, Ana langsung menolehkan kepalanya dengan cepat dan lesu saat bukan Dylan yang ia pikirkan.

Dylan terdiam. Ia tak menjawab pertanyaan Reno dan malah menghirukannya.

•••

"Tidak apa-apa. Aku hanya kecewa. Tidak lebih."

DylanaWhere stories live. Discover now