The Storm is begin

1K 38 10
                                    

An
Di mana?
Kangen.

Sudah seminggu semenjak terakhir kali mereka kencan yang berujung triple date bersama kedua sahabatnya, keesokan harinya Dylan tak mengantar jemput dirinya seperti biasa dan Ana tak heran dengan itu. Namun, seminggu juga Dylan menghilang tanpa kabar yang membuat Ana sedikit gelisah.

Ia benar-benar menghilang sekejap mata, dengan sekali kedipan mata. Ingin bertanya ke Andi atau Reno, tetapi ia ingin berusaha dengan kemampuannya sendiri.

Cih ... usaha apanya? Lo cuma diem nunggu dia balas pesan lo, itu yang namanya usaha? balas batinnya tidak membenarkan ucapannya.

"Tolong, angkat, Lan," gumam Ana dengan ponsel yang berada di telinga kirinya, ia sangat gelisah karena selama seminggu ini, Dylan tak ada kabar. Salahkah dirinya jika terlalu mengkhawatirkan seseorang yang selalu berada di sisinya?

Ana menghela napasnya perlahan, ia berjalan menuju kamarnya dan melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi meninggalkan tasnya tergeletak mengenaskan di dekat ranjang. Ana terdiam di depan cermin yang menampakkan seorang gadis dengan wajah murung yang terlihat mengenaskan.

Sampai sebuah suara itu membuat senyuman di bibirnya terbit. Dengan berlari ia menuruni tangga dan memeluk sosok yang dirindukannya, bahkan saat orang itu baru memasuki rumah.

"Kangen banget, ya sama Papa." kekeh Papa melihat tingkah sang Putri, ia seakan melihat sang Putri saat berusia tiga tahun, dengan berlari menghampiri sang Ayah yang baru pulang bekerja dan lompat ke dalam pelukan hangat favoritnya.

"Banget!" pekik Ana dengan mengeratkan pelukannya pada sang Ayah, bahkan sang Ayah kini mengangkat tubuhnya sedikit sebelum memutarkan tubuhnya di tempat bersama sang Anak. Ana memekik kegirangan dengan aksi sang Ayah dan tertawa kecil saat Papa membawanya berputar-putar dengan posisi kaki yang tak menapak pada lantai, sedikit terangkat.

Momen ini akan menjadi momen langka yang menjadi alasan mengapa Ana masih bertahan di tengah badai yang menimpanya. Dia lah satu-satunya alasan mengapa ia masih menampakkan kakinya di sini. Atau mungkin, ada seseorang lagi yang menjadi penyemangat hidupnya, seseorang yang sudah menghilang selama sepekan ini.

"Oleh-oleh aku mana?" tanya Ana dengan manja, kedua tangannya masih berada di pinggang sang Ayah, seakan tak ingin melepaskannya barang sedetikpun.

"Ada di koper." sahut Papa dengan terkekeh geli melihat tingkah sang Putri saat ia masih berumur empat tahun. Itu sungguh momen yang akan selalu dirinya kenang. Sang Putri kecilnya kini telah beranjak dewasa.

Papa melihat Ana mengambil koper yang terletak tak jauh darinya dan membawanya ke ruang keluarga untuk mengambil barang-barang yang ditujukan untuknya. Papa tersenyum lirih membayangkan jika sebentar lagi akan ada seseorang yang akan mengambil Putri kecilnya. Seseorang yang akan menggantikan dirinya untuk menjaga buah hatinya dengan segenap jiwa dan raganya. Dan seseorang yang akan menggantikan kasih sayangnya.

"Papa! Terimakasih! Ana suka banget!" pekik Ana gembira, ia mengambil sebuah syal rajut berwarna baby blue serta kotak musik berwarna merah muda yang berisi balerina saat membuka tutupnya dan musik akan memandu sang balerina itu untuk menari di hadapannya.

"Sama-sama, Sayang." Papa berjalan mendekatinya dan mengelus puncak kepalanya dengan sayang.

"Mama ke mana?"

"Mama masih di Paris, Sayang." jawab Ayah dengan tersenyum kecut sebelum melanjutkan ucapannya. "Masih jenguk Kak Radit. Mungkin, besok udah pulang."

Ana tersenyum kecut memikirkannya. Sampai kapanpun, Mama hanya akan menyayangi Kak Radit, tidak dirinya atau mungkin tidak akan pernah menyayangi dirinya. Setidaknya, ia masih memiliki Papa yang sangat menyayanginya hingga kini.

Ia berharap, Papa akan menyayanginya sampai kapanpun.

Ana berjalan gontai ke kamarnya dengan syal dan kotak musik berada di kedua tangannya. Ia harus merelakan dirinya tidak bermanja-manjaan dengan sang Ayah dikarenakan sang Ayah harus segera ke kantor karena ada sedikit permasalahan.

Sepi. Itu yang dirasakan oleh Ana. Di saat seperti ini, ia kembali memikirkan Dylan yang hilang entah ke mana. Ia kembali mengingat perilakunya saat minggu lalu. Apakah ia memiliki kesalahan saat pertemuan terakhir mereka itu? Sepertinya ia berperilaku biasa saja, justru ia berperilaku sedikit manja saat berhadapan dengan Dylan saat itu.

Ia membuka laci meja belajarnya dan menemukan benda yang selalu menemaninya di kala kesepian melanda, seperti saat ini. Ia memandangi benda yang berkilat di bawah sinar lampu kamarnya. Tangannya tampak ragu-ragu untuk mengambil atau membiarkan pisau itu berada dalam tempatnya.

Sepuluh menit ia terdiam, bimbang. Semenjak berkencan dengan Dylan, ia sudah tak mengambil benda itu lagi, bahkan luka-luka di sekujur tubuhnya sudah hampir pulih tak berbekas dengan bantuan obat menghilang luka tentunya.

Dengan berat hati, Ana mengambil benda itu dan mengarahkannya ke lengan atasnya. Darah mengalir seiring dengan air matanya yang ikut mengalir membasahi pipinya. Ia bukan menangis karena rasa sakit yang di dapat karena tajamnya pisau yang mengenai kulitnya, bukan. Ia menangisi takdirnya yang seolah selalu mengejeknya dengan kepergian orang-orang yang disayanginya serta meratapi kesepian di malam hari yang mendung.

•••

Dengan tekad yang kuat, Ana menggiring kakinya menuju rumah bercat putih yang dikenalinya. Ana menghembuskan napas sejenak sebelum menekan bel yang berada di sisi pagar. Suara bel terdengar seiring dengan tombol yang ia tekan di sisi pagar. Seorang pria paruh baya datang menghampirinya dengan seragam berwarna putih serta topi yang melekat di kepalanya.

"Ada yang bisa saya bantu, Dek?" tanya pria paruh baya itu membukakan pintu dan Ana tersenyum sebelum membalasnya.

"Eh? Ana? Kenapa di sana? Ayo, masuk," ajak Kinnan yang baru saja turun dari mobilnya dan melihat ke arah pagar yang terbuka yang menampilkan sosok cantik itu. Kinnan berjalan mendekati Ana dan menariknya memasuki rumah tak lupa ia tersenyum ke arah Pak Deni dan membuat gerakan bibir yang mengatakan jika Ana adalah pacar Dylan dan Pak Deni menganggukkan kepala sebelum menahan senyumannya.

"Kenapa gak langsung masuk aja, sih. Ada Bunda di dalam." Ana tersenyum, ia bingung menanggapi pernyataan dari kak Kinnan.

"Assalamualaikum. Bun! Ada tamu istimewa, nih." pekik Kinnan antusias yang tak berapa lama datanglah sosok yang dirindukan oleh Ana.

"Ana!" pekik Bunda yang berlari kecil untuk memeluk tubuh mungil Ana dan sedikit memutarnya, membuat kaki Ana sedikit melayang dan ia terkekeh merasakan reaksi antusias Bunda akan kehadirannya.

"Ke mana aja, gak pernah main." Ana hanya membalasnya dengan cengiran dan Bunda mendengus sebelum menuntun Ana dan Kinnan menuju meja makan yang sudah tersaji berbagai macam makanan yang menggugah selera.

"AYAH! ADEK! AYO MAKAN!" teriak Bunda yang tak lama terdengar suara pintu terbuka dan menutup secara bersamaan. Di sana, aku melihatnya menutup pintu kamar dan memundurkan langkahnya saat Kennan berbicara padanya. Kennan bergabung bersama mereka di meja makan meninggalkan Dylan yang hendak memasuki kamarnya kembali.

"Dylan!"

Seseorang itu menghentikan langkah kakinya seakan dia adalah orang yang Ana panggil. Ana berjalan mendekatinya dengan langkah gontai dengan senyum sedih melihat bahu yang selama ini ia kenali.

•••

DylanaWhere stories live. Discover now