Dilla

1.1K 35 0
                                    

"Dilla!"

"Ya, Bunda?" tanya Dilla dengan wajah polos tanpa dosanya yang membuat Bunda tersenyum dan berbanding terbalik dengan Kennan yang menggeram menahan kesalnya.

Mentang-mentang bocah batin Kennan menggerutu. Kennan dan Dilla sedang berada di ruang tamu dengan Dilla yang merecoki Kennan yang tengah memainkan Ps miliknya. Tanpa merasa bersalah, Dilla memalingkan wajah ke arah Bunda yang membawakannya botol susu dan mengabaikan teriakan kesal Kennan.

"Bunda! Kaken ndak acik Dilla main." adu Dilla dengan wajah seperti ingin menangis membuat Kennan mendelik kan mata mendengar Dilla memfitnahnya seperti ini.

"Ken." panggil Bunda dengan memicingkan mata saat Kennan mendelik kan mata ke arah Dilla yang meminum susu miliknya.

"Bunda lebih percaya dia daripada aku, anak bunda sendiri?"

"Bunda lebih percaya Dilla, anak kecil kan gak pernah bohong. Gak kayak kamu kerjaannya bohong terus."

"Loh, Bun. Yang ada Dilla yang ganggu aku main. Lagipula aku bohong apa sama Bunda?"

"Haduh, kamu ini malah ngelak segala. Nah gini nih, dikira Bunda bisa dibohongi, itu kemarin kamu ke mana sampai malem? Gak kerja kelompok kan, tapi nganterin gebetan mu." Bunda mendelik kan mata membuat Kennan ciut. Bagaimana Bunda bisa tahu? batin Kennan dengan pasrah.

"Kok... Bunda tahu?" tanya Kennan dengan takut-takut, sebenarnya baik Bunda maupun Ayah tak melarang mereka pacaran atau semacamnya, yang kedua orangtuanya tak suka ialah ia berbohong untuk pacarnya. Kalau saja Ayah yang tahu, bulu kuduk Kennan meremang saat mendengar suara yang membuatnya diam tak berkutik.

"Bunda tahu apa?" suara berat yang hanya satu orang yang memilikinya di rumah, Ayah.

"Eh... anu... itu... enggak kok, Yah." elak Kennan dengan gugup, Dilla yang melihatnya pun menertawakan Kennan yang diam gak berkutik saat sang Ayah memasuki ruangan.

"Kenapa kamu gugup? Kamu bohong, ya?"

"Eh? Bohong apa?"

Percakapan mereka terpotong karena suara tangisan bocah berusia dua tahun yang menangis kencang serta melempar botol susu miliknya. Bunda dengan cepat menggendong Dilla ke dalam pelukannya dan mengayunkan tubuhnya agar ia tenang.

Bukannya tenang, Dilla malah semakin menangis histeris di dalam pelukan Bunda.

"Kana! Kana!" panggil Dilla dengan teriakan serta sesenggukan akibat menangis kencang. Ayah dan Kennan saling memandang sebelum melihat Dilla yang histeris di pelukan Bunda.

Tak lama Dylan datang bersama Ana yang mengikutinya di belakang tubuhnya. Ana memandang heran ke arah Dilla yang masih menangis dengan kencang serta mengulurkan tangan meminta digendong oleh Ana.

Ana berjalan mendekat dan meraih Dilla ke dalam pelukannya. Dengan ajaib, Dilla berhenti menangis dan terlelap dengan cepat.

"Oh. Kana itu Kak Ana toh." Kennan menganggukkan kepala karena baru saja mengerti yang dimaksud oleh Dilla.

"Kenapa?" bisik Ana sembari mengayunkan tubuh mungil Dilla di pelukannya.

"Dari tadi Dilla manggil nama lo terus, Na." Ana memandangnya dengan tak yakin namun diangguki oleh Bunda dan Ayah.

"Kayaknya kamu harus setiap hari ke sini, Yang. Dilla kalo udah lengket susah dilepasin." ujar Dylan seraya merangkul pundak Ana dan membuat Dilla menangis dengan kencang seraya memukul tangan Dylan yang menimpa tangannya yang sedang berada di pundak Ana.

Ana menatap Dylan dengan tajam sebelum berjalan menuju kamar Dilla untuk menidurkannya. Dylan merasakan kepala belakangnya dipukul dan melihat Kennan mencoba memasang wajah sangar namun Dylan sama sekali tidak takut.

DylanaWhere stories live. Discover now