Rapuh

996 30 8
                                    

Di bawah senja, kita berdua duduk di hamparan rumput yang hijau dengan pemandangan matahari terbenam. Aku selalu berfikir, apakah kebersamaan kita seperti matahari yang akan terbenam saat waktunya? -Ana

•••

"Kamu egois!" bentak Dylan dengan Ana di hadapannya yang duduk dengan pikiran kosongnya. "Kenapa ngelakuin hal bodoh itu?!"

Ana terdiam sejenak saat mendengar ucapan Dylan, darimana ia mengetahui hal itu? Pikir Ana.

"Hal bodoh?" Ana tertawa meremehkan dengan senyuman sinisnya dan menengadahkan kepala melihat semburat orange matahari di ufuk Barat.

"Ya! Kamu mau bunuh diri?! Gak mikirin perasaan kita di sini?! Gak mikirin perasaan kedua orang tuamu?!"

"Tau apa aku soal perasaan." Ana tertawa sinis melihat Dylan berdiri di hadapannya dengan wajah yang mengerikan saat marah, namun ia tak terpengaruh dengan semua itu. "Aku memang gak punya perasaan. Perasaanku terkubur bersama seseorang yang meninggalkanku di sini sendiri."

"Siapa?! Siapa bajingan itu?! Dia yang buat kamu kayak gini?!" teriak Dylan sampai wajahnya memerah karena amarah.

"Bukannya kalian semua yang buat gue kayak gini?!" balas Ana dengan berteriak saat Dylan selalu berteriak padanya dan itu membuat Ana muak dengan semuanya.

"Oh great. Sekarang kamu salahin kita semua yang nyatanya itu kesalahan kamu!"

"Ya!"

Dylan menghela napas dengan gusar sebelum mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia marah atas sikap Ana yang membahayakan dirinya namun sang kekasih tak merasakan apa yang ia rasa. Gusar. Kecewa. Marah.

"Kamu masih punya aku untuk cerita masalah kamu, kamu juga masih punya Key dan Nara untuk berbagi kisahmu, dan sekarang, kenapa kamu ngelakuin hal bodoh seperti ini daripada berbicara dengan kita!"

"Hal bodoh yang kamu katakan itu adalah pelarian dari semua rasa sakitku." Ana berjalan meninggalkan Dylan yang diam mematung mencerna ucapan sang kekasih. Ya, seharusnya Dylan tak menyalahkan Ana atas semua hal yang telah terjadi.

•••

Pada akhirnya, Ana kembali ke sini. Ke tempat yang selalu ia kunjungi saat sedang sakit hati atas semua hal yang ia lalui atau saat ia merasa putus asa seperti sekarang. Ana kembali ke benda favoritnya. Benda yang selalu ia genggam saat perasaan itu muncul kembali. Perasaan ditolak, putus asa, perasaan yang kosong dan tentu saja depresi.

Lagi lagi Ana duduk bersandar di pinggir ranjang dengan sebuah benda yang jika terkena cahaya akan mengkilat. Benda favoritnya yang selalu ada saat ia sedang depresi seperti ini. Pisau.

Ana terdiam. Ia memutar kembali momen hangat yang ia miliki bersama keluarganya, tentunya dengan Radit. Ia menitikan air mata saat kembali memutar momen manis itu, momen yang tak pernah ia lupakan seumur hidupnya.

Sekarang, saat ia telah mendapatkan sandaran baru yang nyata berdiri di hadapannya, orang itu perlahan menjauh dari jangkauannya. Bahkan, saat ia memanggil namanya pun ia tak menoleh seakan memang tidak ada yang memanggilnya.

Ia ditolak. Perasaan ini lebih buruk daripada perasaan ditolak oleh kedua orangtuanya. Ia ditolak oleh cinta pertamanya.

"Kak Radit, aku mohon bawa aku ke sana." pinta Ana dengan suara lirihnya. Ia memandangi sekitar ruangan dan tersenyum sedih melihat banyak foto orang yang ia sayangi. Kamar Radit.

DylanaWhere stories live. Discover now