Senyuman yang Hilang

1.2K 47 32
                                    

"Ana! Key!" Nara menepuk pundak Ana dan Key yang menimbulkan erangan kesakitan dari Ana.

Nara dan Key yang mendengarnya panik dan memegang lengan Ana.

"Lo kenapa? Kemarin lo baik-baik aja," cemas Nara seraya memegang bahu Ana dengan pelan seolah itu kaca yang mudah pecah. Ana meringis saat Nara menekan lukanya walaupun dengan pelan.

"I'm okey," balas Ana dengan santai seolah luka yang membuatnya meringis tak membuatnya sakit sama sekali.

"No, you're not." bantah Key dengan tegas dan menarik Ana menuju UKS tanpa mendengar bantahan Ana.

***

Hari-hari Ana semakin muram. Tak ada senyuman yang terukir di bibirnya. Ia selalu menampakkan ekspresi datar andalannya. Bahkan, saat bersama Key dan Nara saja ia hanya tersenyum kecil, tidak seperti biasanya.

Hatinya hancur. Ia harus menata ulang hatinya agar bisa menjalani hari-harinya seperti biasa.

Seberapapun kerasnya ia mencoba, ia selalu gagal. Entah mengapa ia menjadi putus asa dengan semua ini. Semua hal yang dilakukannya seakan salah di mata orang lain.

Tidak bisakah ia menjadi diri sendiri? Ana lelah berpura-pura menjadi orang lain. Mungkin lebih tepatnya menjadikan diri seperti Radit. Kakak yang selalu di puja dan membuat orang lain memandangnya dengan kagum.

Semua salahnya, andai saja ia tak pergi, mungkin saja Radit masih bisa bersamanya dan hidupnya tidak akan menyesakkan seperti ini. Ia sungguh menyesal.

Namun entah mengapa hidupnya kini lebih berwarna daripada sebelumnya yang abu-abu. Ia tersenyum membayangkan kejadian beberapa hari yang lalu.

Bukannya ia tak tahu jika Dylan beserta temannya mengikuti dirinya saat pergi bersama Key dan Naya. Ia hanya ingin melihat seberapa kuat mereka mengikuti aktivitas yang dilakukannya.

Ana mengacungi jempol untuk kegigihan Dylan yang pantang menyerah. Membayangkan itu, senyumannya semakin melebar.

"Kenapa aku tersenyum ketika membayangkannya?" Ana menggelengkan kepala berharap bayangan itu menghilang dari pikirannya.

"Lo kenapa Na? Gue khawatir kalau lo kayak gini," Key memandang Ana yang berada di hadapannya dengan wajah khawatir dan air yang menggenang di pelupuk matanya.

"Gue gapapa, seperti yang lo lihat," elak Ana tanpa melihat Key yang telah menitikkan air mata.

"Lo kenapa ngelakuin tindakan itu?" Tanya Nara dengan lirih. "Lo bisa berbagi kesedihan ke kita, kita selalu ada di samping lo, Na."

"Bukan urusan kalian." Ana berjalan meninggalkan Key dan Nara tanpa melihat kedua sahabatnya itu tengah menangis. Karna, jika ia melihat air mata mereka, ia takkan sanggup untuk menjauhi mereka. Ya, lebih baik ia menjauhi kedua orang itu, ia butuh udara segar.

Seperti biasa, ia ditemani udara malam dengan suara binatang malam yang memecah keheningan malam. Seperti sudah bersahabat, udara tampak menyambut Ana dengan antusias. Ana tersesat, seolah kehilangan kemana arah tujuannya. Ia rapuh.

Ana menaikkan kecepatan mobilnya sampai di atas kecepatan normal. Biarkan saja, toh tak ada yang akan mengkhawatirkan dirinya, pikirnya dalam hati.

Ia mendongakkan kepalanya ke atas seraya menutup mata. Ia tak peduli dengan kecepatan mobil dan jalanan di depan sana. Toh, jalanan ini sepi dan jalannya cenderung lurus tanpa belokan, karna ia sudah terbiasa dengan jalan ini dan waktu yang menunjukkan tengah malam.

Pikiran jahatnya berkata ingin menyusul sang kakak di sana, namun hati dan logikanya masih bertahan.

Ia melihat jalanan di hadapannya dengan tersenyum kecut, jalanan ini adalah jalanan yang menyebabkan menghilangnya nyawa sang kakak. Menghilangkan sebagian jiwanya. Menghilangkan alasannya untuk hidup. Lalu, untuk apa ia hidup saat ini?

Ana mengambil sebuah pisau lipat dan tersenyum sinis melihatnya. Ia menggoreskan lengan atas pada tangan kanan yang masih memegang kemudi dengan perasaan hampa. Sungguh, ia tak merasa sakit sedikitpun. Justru, ia senang.

Satu goresan ia torehkan pada lengannya, tanpa memperdulikan darah yang terus keluar dengan derasnya. Bahkan, di saat angin malam berhembus mengenai lukanya, ia tak merasa sakit, sedikitpun tidak.

Setiap goresan yang menyayat lengannya mampu mengangkat beban yang ia tumpu. Beban yang takkan sanggup ia obati.

Tak ada lagi senyuman yang keluar dari bibir manisnya. Tak ada lagi tawa yang keluar dari wajah cantiknya, dan tak ada lagi harapan dirinya untuk bertahan hidup.

Sanggupkah ia mengakhiri semua ini? Tepat lima ratus meter di hadapannya ada sebuah pohon besar, pohon yang menyebabkan mobil Kak Radit menabraknya dan kehilangan nyawa saat itu juga. Ia tak menyalahkan pohon memang, tapi setiap ia melewati jalan dan pohon itu, ia selalu teringat dengan kakaknya.

"Mungkin, memang ini takdir ku." Ana hampir melepas kendali mobilnya, sampai sekelebat bayangan muncul di pikirannya. Wajah itu, senyum itu, dan canda itu membuatnya menghentikan laju mobil dan tepat berhenti di depan pohon yang nyaris merenggut nyawanya.

"Kenapa aku memikirkan dirinya?" Tanya Ana dengan tertawa sedih. "Memang, apa pengaruhnya dia di kehidupanku?"

***

"Hai cantik." sapa Dylan dengan senyuman manis di bibirnya saat melihat Ana keluar dari rumah dengan sweater abu-abu.

Tumben, pikir Dylan heran. Pasalnya semenjak ia mengenal Ana, ia tak pernah melihat Ana mengenakan jaket maupun sweater ke sekolah.

Ana hanya melirik sekilas sebelum melanjutkan kembali jalannya yang terhadang oleh Dylan.

"Jutek amat sih, Neng." goda Dylan seraya mencolek dagu Ana dengan senyuman menggodanya. Tanpa membalas, Ana langsung menepis tangan Dylan yang mencolek dagunya disertai dengan tatapan tajam.

"Sini Abang anterin." tawar Dylan disertai dengan merangkul bahu Ana dan mendapat respon ringisan.

"Kamu... kenapa?"

Selama diperjalanan, baik Dylan dan Ana tak ada yang memecahkan kesunyian. Dengan terpaksa akhirnya Ana mengikuti Dylan untuk mengantarnya ke sekolah. Dengan kedua lengan yang dipenuhi bekas sayatan membuatnya tak mampu mengendarai mobilnya. Bahkan, sekadar menyuruh supir pun ia tak mau, entah apa alasannya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Dylan yang entah kesekian kalinya dibalas dengan kebisuan dari Ana. Dylan menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. "Kalau ada masalah, aku siap buat dengerin. Kamu juga boleh pakai bahuku untuk menangis, karna gak selamanya kamu bisa menahan tangis."

Ana membuang pandangannya keluar jendela tanpa ada niatan membalas ucapan dari Dylan. Yang Dylan lihat saat ini Ana tengah memandangi jalanan yang tak menarik itu, namun yang Ana pandangi justru wajahnya yang sudah bersiap untuk menitikan air mata dan menggigit bibir bawahnya di kaca mobil itu.

"Kamu gak akan tau rasanya jadi diriku." Kalimat itu membuat Dylan terdiam. Mereka terdiam membisu sampai mobil itu berhenti telah di depan gerbang dan tak ada satupun kata yang terucap dari bibir Ana. Ia berjalan meninggalkan Dylan yang terdiam termenung di tempatnya kini.










***

DylanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang