Sepi, Diantara Deru Nafas Sesal

6.8K 148 38
                                    



Cerpen 1

Oleh : Iqbal Saripudin

" Sepi, Diantara Deru Nafas Sesal "


Angin malam membisu. Hamparan permadani langit hitam-kelam, tanpa secercah cahaya bulan mengintip diantara kilatan guntur menjilat-jilat halus, barang satu-dua kali menjalar lepas. Gelap gulita. Seperti suasaa ruangan kecil berukuran 1×1 m2 itu, disudut paling sudut penjara suci kaum santri.

Pintunya terkunci rapat dari luar. Tak ada plafon besar guna keluar-masuknya udara, apalagi jendela. Untuk sekedar bertukar udara hanya mengandalkan sebuah bologan kecil sebesar kepalan tangan anak kecil. Jadi, terasa pengap, panas dan tentunya gelap, tak ada cahaya sedikitpunyang sengaja hadir.

Di bilik penjara nomor satu itu tiga santri nampak saling berdempetan memeluk kedua lutut sebab sempitnya ruangan. Berselimut keringat panas. Isak tangis terdengar samar diatara deru napas sesalnya. Juga bening air hangat menganak sungai dikedua belah pipi.

Semakin larut malam, kecamuk kalut pikiran mereka mendadak diserang sengat sepi. Seperti ada sesuatu yang kurang dan janggal. Ya, sejatinya sudah lima kali mereka mendekam dipenjara akibat pelanggaran yang diperbuat. Biasanya ruangan kecil nan gelap itu akan mereka sulap layaknya camping di tengah hutan, menyalakan sebuah lilin, mengeluarkan makanan kecil dan kopi pahit dalam plastik yang telah berhasil disembunyikan di dalam peci tinggiserta saku-saku celana. Juga tak ketinggalan sebatang rokok akan mereka sesap nikmat di sela-sela bercakap-cakap menunggu separo malam berakhir.

Namun suasana penjara malam ini amat berbeda. Gelap dan sepi. Kesepian akan kehadiran sosok pelengkap gang. Sosok penghibur suasana, pengumbar obrolan jenaka, pembuat lelucon dan yang selalu mengajak damai agar berbuat alim. Di pipi kirimereka jelas terlihat samar bekas merah tamparan tangan mulia Kyai mereka. Ialah sebuah bukti akibat perginya sosok pelengkap itu. Abadan.

Bayang-bayang kejadian pagi tadi masih terasa mencuat di kepala, memaksa merekauntuk selalu menahan nafas berat dan sesal.

Pagi-pagi sekali saat qobliyahan bola mata keempat santri itu amat terjaga dari kantuk, tidak seperti biasanya. Kesimpulan sebuah rencana dilontarkan sang ketua gang dengan suara lirih serta hati-hati.

"Pokoknya usai ngaji subuh kita langsung berangkat. Pakai baju solat aja. Nanti di belakang benteng dekat kamar mandi sampean –Syahrul, kau lemparkan semua tasnya. Terus kita pura-pura beli nasi bungkus di warung Mbok Yem, yang dekat kali itu lho. Nah, habis itu kita cepat-cepat ngompreng, ganti bajunya di mobil. Pokokya kita kudu cepet-cepet. Meskipun konserya mulai pukul sepuluh malam, pan belum kumpul-kumpulnya, desak-desakanya, iya nggak?" ujar Rahmat penuh keyakinan.

Ketiga temannya menatap lamat-lamat, si santri bertubuh agak kecil menimpal merasa kurang sependapat, "Lha, kita ndak izin dulu ke pengurus keamanan? Namanya ngelanggar lagi dong."

"Ah, repot. Pasti nggak di izini, Wan. Sing penting niatnya sedikit kita rubah yakni ngaji sing langka kitabe. Kan kita bisa bertafakur fil'alam wafinnas."

Endingnya keputusan sudah bulat dan semuanya sepakat. Bagaimanapun juga sebagai slankers sejati ini adalah kesempatan emas hendak bertemu sang idola. Sebab konsernya diadakan di alun-alun kota.

Dan benar. Tak ada wajah-wajah curiga tatkala kita bersikap biasa-biasa saja. Terbukti tepat pukul enam lebih sepuluh keempat santri itu pura-pura hendak membeli nasi. Sesampainya di punggung jalan besar segera menaiki sebuah truk besar. Bahkan langit pagi yang mulai mendung menggantungpun mereka acuhkan, terlaupaui oleh rasa senang berlipat-lipat.

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Where stories live. Discover now