Selaksa Mimpi Impianmu

354 16 1
                                    

SELAKSA MIMPI IMPIANMU

Teruntuk separuh penghidup ruh jiwaku, Ayah...

Wahai Ayah, dalam dekapan selimut dinginnya udara malam menggila. Kutitip selaksa rindu yang kian membuncah merayapi tiap kali nafas berhembus, kepada sang malam, kepada sang rembulan. Juga kepada segenap makhluk di setiap penjuru jagat malam yang masih terjaga dalam kebisuan malam menggelap. Terkhusus hanya untukmu seorang Ayah. Sosok sang penghidup ruh jiwaku.

Wahai Ayah, entah sudah berapa banyak rajutan gelombang rasa malu menghempas dan menblokir lorong-lorong hatiku. Merundukkan kepalaku dalam-dalam dan mengunci kedua belah bibir. Ya, setiap kali seraut wajah teduh bercahayamu menampakkan di depan mata, bahkan untuk sekedar melirik bayanganmu saja tubuhku sudah bergetar duluan. Semua itu akan bereaksi penuh tatkala aku hendak mengungkapkan sejuta bahkan lebih untaian rasa terima kasih yang belum mampu kuucapkan lewat lidah hingga kini, hingga rambutmu berubah menjadi berwarna kapas. Sungguh tak tahu diri memang anakmu ini Ayah. Tapi aku tak mau menjadi sosok penghidup kesia-siaanmu atas pengorbananmu mempersilahkanku untuk menyapa dunia. Tak mau, sungguh. Sampai kini kusadari, aku harus berani. Dan mungkin kali ini adalah waktu yang amat pas untuk kukeluarkan lepas-lepas, usai sebuah mimpiku terwujud oleh sang pelukis mimpi.

Wahai Ayah, aku tak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku kelak jika saja dulu aku tak manut pada titah agungmu. Mungkin aku sudah menjelma mayat hidup, tinggal seonggok tubuh tanpa semangat hidup sesungguhnya, sebab kegelapan memenuhi kehidupanku dan jurang-jurang kenistaan menganga di sepanjang rel kehidupanku. Ya, seperti halnya yang dialami oleh beberapa teman dekatku dulu. Entah kejelasannya bagaimana sekarang, yang pasti juga hatiku terasa teriris sembilu mendengar alam mengabarkan demikian. Tetapi tidak demikian, karena saat itu, saat aku masih merangkak dalam jiwa labil engkau langsung menghadang Ayah. Kau menyuruhku untuk membuntuti nasab-nasab keluargaku terdahulu yakni melanjutkan mencari ilmu di sebuah penjara suci yang entah dimana letaknya, jauh sekali. Dan kau sama sekali menutup telinga saat aku mencoba mengelak, terlebih mengungkapkan keinginanku yang barang tentu tak jauh berbeda dengan teman-temanku di luar sana. Aku benar-benar muak padamu Ayah, juga pada Ibu, kakak dan semua keluargaku. Tak ada satupun dari kalian yang berpihak terhadap keinginanku. Saat itu aku merasa dunia benar-benar sebesar daun kelor, sempit serta semua itu berasal darimu Ayah. Kau amat-sangat kejam ketimbang sosok killer sekalipun. Namun aku terpaksa manut demi sebuah baktiku padamu.

Wahai Ayah, maafkan aku atas kelancanganku dulu. Itu dulu, ketika jiwaku masih dipenuhi bercak noda-noda hitam karena kehidupan luar yang di penuhi tikungan tajam. Tapi sungguh pemikiran bodohku itu hanya bertahan di awal-awal Ayah, sebab setelah semakin lama kuarungi kehidupan baruku itu menyandang status sebagai santri salaf, akhirnya aku paham maksud dari titahmu itu dan kutemukan disini makna hidup sesungguhnya. Satu kalimat marahmu waktu itu masih terasa terngiang ditelinga, 'hidupmu mau dibawa kemana, tanpa tahu agama? Apa ndak malu tho sama dulur-dulurmu, mereka semua mondok lho' dan aku hanya akan bungkam menunduk dalam.

Wahai Ayah, kini aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku padamu, terkhusus padamu. Di sebuah moment special, puncak kehidupanku selama tujuh tahun ini dalam mengarungi lautan ilmu-ilmu para salafus sholeh. Hingga kutemukan titik cahaya suci itu. Dengan memakai jubah kebesaranku ini serta memanggul berjuta-juta amanah dipundak, kuberanikan menghadapmu tegak, Ayah. Menatapmu langsung ke arah bola mata elangmu dan menyapu seluruh raut wajahmu yang mulai mengkerut disana-sini.

Wahai Ayah, terima kasih atas segalanya. Terima kasih atas segala marahmu, kekesalanmu, cambuk kata-katamu dan tentu tak lupa terima kasih atas segala nasehatmu, bimbinganmu, serta... ah, segalanya Ayah, aku tak mampu mengungkapkannya satu perasatu. Terlalu banyak, bahkan untuk sekedar menyimpan dalam sebuah memori penyimpan terbesar di dunia inipun masih tak cukup, sungguh. Ayah... aku berharap Allah masih selalu membimbingmu dan memberimu sehat wal afiat. Akhir kata, sebelum aku benar-benar akan menghadapmu langsung aku harap engkau paham terhadap suratku ini, yang kutuliskan di sepertiga malam dan berharap-harap kau dapat membacanya saat aku menaiki panggung utama hendak menerima sanad ilmu sebagai salah satu santri yang lulus selama mengarungi lautan ilmu tujuh tahun ini, sebelum nantinya aku harus memanggul amanah menyebarkan ilmu-ilmuku kepada segenap makhluk di dunia ini. Mudah-mudahan kau senang Ayah, salah satu mimpimu untukku telah kutunaikan penuh. Sekali lagi terima kasih banyak Ayah, sang penghidup ruh jiwaku.

Dari yang mencintaimu berdarah-darah...



Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Where stories live. Discover now