Berteman Dengan Takdir

398 16 0
                                    


BERTEMAN DENGAN TAKDIR

Oleh : Iqbal Saripudin

Dering telepon itu kembali terdengar melengking. Tanganku malas bergerak menyambarnya, sebab sesak memenuhi rongga dada usai beberapa menit yang lalu telingaku mendengar berita memilukan keluar lepas dari benda itu. Bapak sakit, cepat pulang ke rumah.

Suara khas adik perempuanku bernada perih. Lalu sepuluh detik berikutnya kembali bergetar, bapak sakit parah, pulanglah kak. Bening mataku berkaca, ada haru dan rindu mendalam menggencat jiwaku yang semakin layu terpasung sebuah janji kehidupan. Dan mustahil sekali jika dengan mudahnya aku melanggar janji itu, sebab aku tengah berada di tengah-tengah rel janji, setengahnya lagi. Juga bukan sembarang janji yang mampu terucap oleh lidah tak bertulang, melainkan sosok bersahaja itulah kiblat janji itu.

Masih terdengar melengking, semakin keras dan semakin tercipta gusar di hati. Berkali-kali aku berjalan tak pasti keluar-masuk kamar, entah pikiranku melambung kemana. Hingga tak menyadari sosok lelaki berjanggut tipis itu sedari tadi memperhatikanku dan mengetahui prahara yang terjadi pagi ini.

"Angkat teleponnya, Ahyad!" pinta Kang Abid ketua madrasah.

Aku menggeleng keras, tanpa bersuara. Melihat responku Kang Abid mendesah resah, lalu segera menyambar telepon itu. Aku menahan nafas sejenak dan berusaha tenang dengan duduk di bangku panjang teras luar.

Tak berapa lama Kang Abid muncul, menampakkan diri di hadapanku seraya memasang muka merah.

"Sekarang juga, pulanglah! Aku akan menemanimu, tak usah gusar karena ini darurat," ujarnya sambil meraih lenganku. Aku menampik pelan dan mengeleng.

"Aku tak bisa, Kang. Aku harus menuntaskan amalan ini. Aku masih berada di tengah-tengah, setahun lagi amalan itu tuntas. Bagaimanapun juga di awal perjanjianku, Bapak mengizinkan kok," kataku berapi-api. Namun bening mataku pecah satu-satu.

"Tapi sekarang Bapak butuh kamu, Ahyad. Darurat. Bukankah dalam keadaan seperti ini dapat memutar-balikkan hukum? Almukarom pasti mengerti lha. Dan barusan adikmu bilang Bapak dilarikan di rumah sakit, UGD. Juga mungkin saja, tak berapa lama lagi, Bapakmu diujung nafas."

Aku mengepalkan tangan, geram. Berani sekali dia berkata seperti itu, tapi kutahan cepat-cepat.

"Almukarom sedang keluar, mari kita ke Umi! Aku akan menemani," ucap Kang Abid terakhir seraya menarik paksa lenganku.

Aku pasrah.

***

Kang Abid menjelaskan prahara yang tengah terjadi. Juga alasanku tidak mau pulang, menjenguk Bapak. Ya, karena aku sedang melaksanakan sebuah amalan dari Almukarom, tidak boleh pulang selama tiga tahun berturut-turut. Dan kini sudah dua tahun jalan kulakukan, sayang sekali jika kubatalkan begitu saja.

"Kamu harus pulang! Umi mengizinkan. Lagipula Bapak lebih penting dari itu," tegas Bu Nyai Faridah.

"Ta..taapi, Umi. Ama...,"

Beliau langsung memotong, "Tidak, jadi masalah. Pokoknya kamu harus pulang,"

Aku menggigit bibir. Mematung tak berdaya usai keluar dari griya. Bimbang, ragu, rindu dan takut bercampur mengaduk-aduk. Sebab adik perempuanku menelepon Ibu Nyai memintaku segera pulang. Bapak memanggil namamu, Kak. Lagi, bening mataku panas, tanggul sudut mataku jebol. Kristal bening itu meleleh kedua belah pipi bersama isak tangis tertahan dan timbul-tenggelamnya wajah Bapak mencuat diotak. Kang Abid kembali memintaku segera berkemas.

"Kamu ragu karena alasan apalagi, Ahyad? Hei, apa kamu tidak rindu, kasihan sama Bapak? Bapak butuh kamu dan lagipula Umi sudah mengizinkan,"

"Tapi Umi bukan guru yang mengijazahkanku, Kang. Pokoknya aku tidak mau, Almukaromlah yang berhak mengizinkanku untuk pulang," tegasku menatap lurus, mencoba untuk tegar, meski hati terinsak menagis menyebut-nyebut nama Bapak. Aku segera pergi meninggalkan Kang Abid yang nampak semakin geram dan kesal.

"Kamu... kamu memang keras kepala ya."

***

Tangisku mengingat Bapak selalu kucoba hentikan, berfikir positif tentang Bapak dan kugunakan waktu untuk membaca Al-Qur'an. Selepas sholat duhur Kang Abid menyeretku paksa saat aku tengah duduk khusuk disudut masjid. Aku meronta, ia diam tak merespon.

Sebuah mobil Avanza milik Almukarom terhenti tepat di depan kami. Kaca sebelah kananya terbuka, Almukarom Kyai Nasir.

"Cepat naik, Ahyad!" pinta beliau.

Aku mengangguk-ragu dan bertanya-tanya. Kang Abid langsung mendorongku untuk masuk. Di dalam mobil itu hanya ada Almukarom, aku dan Kang Abid. Kulihat wajah Kang Abid seperti sudah mengerti keadaan.

"Kita ke rumahmu, Ahyad," kata beliau lembut.

"Ta..tapi Abah, amalanku?"

"Tidak jadi masalah, ini darurat,"

Aku diam. Pasrah. Hatiku perlahan tenang, tak ada keraguan lagi. Sebab sosok Kyai yang mengijazahkanku langsung mengizinkan. Ya, aku harus takzim pada beliau, apapun itu. termasuk perihal amalan itu. Selanjutnya kami mengobrol ngalor-ngidul, kesedihanku terasa tertutupi.

Sekitar dua jam kami habiskan perjalanan. Dari radius lima ratus meter gelombang bencana seakan mulai terlihat, detak jantungku kian cepat seiring orang-orang nampak berdiri di halaman rumah dan dipungguh jalan, saling mengobrol memasang wajah sendu, ada yang berjalan cepat ke arah rumahku, juga ibu-ibu menenteng beras. Aku menggigit bibir, Kang Abid mengelus pundakku, seperti memintaku untuk tegar jika berita memilukan menyapa.

Tepat sebelum mobil Almukarom berbelok kearah rumahku. Dari sana kulihat bergerombol orang-orang berjalan cepat, bersuara keras mengucap lailahaillallah serta sebuah keranda mereka pungguk ramai-ramai. Wajah-wajah yang kukenal berjalan di depan, ada ketiga adikku yang ikut mengekor dibelakang. Saat itu juga kiamat seolah datang menghancur leburkan jiwaku. Tangisku pecah. Air mataku turun deras bersama menguapnya rasa rindu ingin bertemu Bapak untuk yang terakhir kalinya. Nafas-nafas sesal terasa jelas menyesaki tiap aliran nafas berhenbus. Seharusnya aku ada disana, seharusnya...

Kedua kakiku ngilu. Tak mampu kubergerak untuk sekedar keluar dari mobil. Aku hanya mampu menatap sendu rombongan itu, menangis tesedu-sedu, memanggil-manggil nama Bapak. Kang Abid mencoba menenagkan, tak bisa. Jika saja aku menuruti perkataannya endingnya pasti tidak akan seperti ini. Tetapi jika begitu aku tidak bisa menjaga janjiku, amanahku dan takdzimku pada Kyai. Tetapi... ah.

Air mataku terus turun. Hingga rombongan itu benar-benar lenyap dari pandangan

***

Usai pemakaman aku, Kang Abid dan Almukarom mengunjuji rumah. Kucoba untuk terlihat tegar, meski sulit kutahan saat ketiga adikku memelukku sambil menangis, menceritakan kronologi detik-detik Bapak dijemput sang malaikat, juga pesan terakhir Bapak untukku. Kucoba air mata ini untuk tak boleh menentes.

Dua jam berikutnya aku pamit pulang, kembali ke pondok. Kujelaskan keadaanku disana ketika ketiga adikku memintaku untuk menginap selama tujuh hari kedepan. Mereka memaklumi.

Dan sebelum maghrib aku sudah menapakki tanah pondokku. Berbaur bersama para santri, mengaji, berjam'ah dan segala aktivitas lainnya. Kusembunyikan rapat-rapat mendung kesedihaku sebenarnya. Aku menjawab sambil tersenyum ketika Fajar bertanya.

"Katanya Bapakmu barusan meninggal. Kok nggak tinggal dirumah dulu, sampai tujuh harianlah?"

"Dimanapun aku berada do'aku pada beliau pasti sampai. Tetap tak akan mengubah keadaan jika aku tetap tinggal disana. Jadi, mengapa perlu berarut-larut dalam kesedihan? Disana hanya akan meninggalkan luka. Lebih baik aku disini, melaksanakan aktivitas seprti biasanya dan tetap khusuk mendo'akan beliau. Bereskan?"

"Tapikan, setidaknya..."

Aku segera menhannya untuk bicara dan menggeleng tersenyum

***

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang