Menguak Tabir Kegelapan

605 28 3
                                    

Cerpen 7

Oleh: Iqbal Syarifuddin Muhammad

" Menguak Tabir Kegelapan "

A

lfi terbangun. Masih setengah sadar, refleks tangannya merayap-rayap kebawah bantalnya, mencari sesuatu. Merasa tidak menemukan sesuatu yang ia cari, ia bangkit. Membalikkan bantal.

"Astaghfirullah... Hp-ku!" pekikknya mulai panik. Ia mencari-cari di sekeliling, dibawah tubuh dan bantal kedua temannya yang masih terlelap. Nihil. Ia semakin was-was, otaknya berputar mencoba-mengingat-ingat sesaat sebelum matanya terpejam ia taruh dimana hpnya itu. Mungkin di dalam lemari, batinnya bergumam. Tak mau membuang waktu, segera ia ubrak-abrik setiap sudut lemari kecil nomor dua di deretan lemari susun tiga tingkat. Innalillah... tetap tak ada, Allah dimana hpku sebenarnya. Alfi menyentuh keningnya yang terasa mulai berdenyut, ketakutan benar-benar telah menguasai jiwanya. Ia takut akan hilangnya benda berharga itu. Sebuah hp Oppo F1 milik kakaknya. Tidak, tidak mungkin, jangan sampai hilang. Ia menggeleng kepala, mulutnya terkatup rapat menahan gelombang ketakutan meluap-luap.

Dalam dekapan rasa takut itu ia mencoba tenang, menarik nafas dalam-dalam, duduk menyandari lemari susun dan mencoba membuang fikiran buruk yang mulai muncul satu persatu menyerang otaknya. Alfi melirik jam di dinding. Masih pukul tiga dini hari. Biasanya jika tidak sedang liburan pondok, tim ronda per kamar sudah stand bye di depan masjid hendak menggobrek para santri. Tapi karena sekarang sedang liburan Haflah Akhirussanah dan kebanyakan santri-santri lebih memilih menghabiskan liburan di rumah, otomatis pondok serasa kuburan. Sepi, hanya nampak segelintir santri senior dan pengurus saja masih setia menunggui pondok.

Dan sudah menjadi tradisi setiap kali liburan, peraturan pondok yang super ketat itu mendadak vakum. Sehingga santri-santri yang masih betah menjamur di pondok tak menyia-nyiakan kesempatan bebas ini; membawa hp, laptop, musikkan dan atau tak ketinggalan ngudud. Kapan saja boleh, bahkan nyaris semalaman suntuk mereka melek –mengobrol ngalor-ngidul di temani sebatang rokok serta gorengan, tak ada yang melarang. Bagaimanapun juga ini memang waktu-waktu refreshing para santri usai bergelut selama enam bulan lebih berjibaku dengan lembaran kitab-kitab klasik serta ilmu-ilmu lainnya, tak ketinggalan peraturan super ketatnya juga di tegakkan bak zaman-zaman kolonial belanda atau bisa disebut juga usai dipenjara dari segala hiruk-pikuk kedunia modernan.

Malam tadi, Alfi dan teman-temannya melakukan hal yang sama. Alfi ingat sekitar pukul satu lebih dini hari obrolan seru mereka mendadak melemah seiring kantung mata mereka serasa di jejali batu, terasa berat. Sementara alunan musik yang di nyanyiakan Iwan Fals berjudul Bongkar dari hpnya masih terdengar mendayu-dayu menggema ruangan kamar berukuran 4×4 m2 ini. Lantas saat ia terbangun, suara musik sudah tak terdengar lagi, hp pinjaman dari kakaknya tak ada. Teman-temannya masih tertidur. Batinnya bergumam, barangkali ia lupa menaruh atau mungkin temannya merawatinya.

Fikiran Alfi semakin kacau. Ia membangunkan Assad dan Anam.

"Sad, Nam. Bangun! Hpku hilang," ujarnya bernada khawatir. Keduanya mengucek-ucek mata. Anam tak peduli ia kembali menutup kepalanya dengan bantal.

"Apa sih? Pagi-pagi udah nyebut-nyebut hp," kata Assad masih setengah sadar.

"Memang hpmu mana, Sad? Perasaan waktu malam hp-hp kita berserakan."

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang