Solat Berhadiah

332 13 1
                                    

Seruan lewat speaker kantor pusat itu mampu membuat para santri Pondok As-Sholihin terlonjak sumringah, saking senangnya.

"Kepada seluruh santri pondok As-Sholihin yang nganggur dan tidak ada kegiatan, dipersilahkan menaiki mobil sekarang juga. Untuk melaksanakan takziyah."

Para santri yang mendengar pengumuman itu, terkesiap. Lantas cukup tiga detik berikutnya santri-santri bersarung itu menyerbu sebuah mobil truk di sisi lapangan pondok. Amat geli melihatnya, sebab dari mereka pada berlarian, ada yang sambil membernarkan sarung atau peci, terseok-seok karena sendalnya susah dipakai, meringis kepanasan karena telapak kaki mereka tanpa alas menapaki aspal dan tanah panas di siang hari, ada juga yang sampai terjatuh. Teriakan mereka sendiri mungkin terdengar lucu, seperti ini;

"Serbuuuuu ...."

"Oy, solat berhadiah, uy. Solat berhadiah ...."

"Yuk yang lagi nggak ada duit. Ikut solat berhadiah, haha. Angkuuut ..."

Seorang pengurus yang berdiri di samping truk tampak kebingungan, karena jumlah santri yang mau ikut takziyah, membludak. Dan kebanyakan dari mereka pada kecil-kecil. Apa mau dikata, pengurus itu langsung bertindak. Speaker kembali berdengung.

"Mohon maaf, selain santri tingkat empat dan lima tidak diperkenankan untuk mengikuti takziyah," sampai beberapa kali dengan suara menghentak, "turun! Turuuun!"

Sejurus koor 'Huuuuuuuuu ...' membahana seantero pondok. Maka di sana terciptalah raut wajah-wajah penuh kecewa, desisan sinis dan umpatan kesal tak berfaedah namun masih dianggap wajar.

Ya, bersumber dari mereka para santri yang sebagian besar bertubuh kecil-kecil itu. Lantas disambut dengan ledekan para santri bercap santri cukup lawas. Yang kini mulai menyerbu sambil mengusir, seolah-seolah mereka ialah komplotan si jago-jago yang harus dinomor satukan.

Tak berapa lama mobil truk itu melaju meninggalkan lapangan pondok dengan seruan riuh tak ada habisnya. Sebuah moment menyenangkan memang, dalam menyantap segarnya dunia luar.

Lamat-lamat seorang bocah bertubuh kecil, tinggi semampai, mendadak muncul tiba-tiba dari pojokan depan truk. Ia nyengir kuda, seperti tak punya dosa. Menatap beberapa santri lawas di dekatnya, yang barang tentu terkejut bukan main.

"Mahbuuuuuuub?" seru kelima santri yang sedari tadi merasa tak nyaman berdiri. Mereka tak habis pikir, bisa-bisanya santri ingusan ini tertinggal di truk. Padahal aksi pengusiran sudah dilaksanakan sempurna.

Si empunya itu lagi-lagi nyengir, memperlihatkan deretan gigi kuning menjijikkannya. "Hehehe ...."

"Kok sampean bisa ada di sini sih?" tanya Nawaf, santri bersorban hijau.

Jiddan geleng-geleng kepala. "Iya, ih. Mana gah mudun-mudun! (kesanalah! Turun-turun!)," usirnya seraya menarik kerah kemeja santri itu.

Sontak Mahbub gelagapan, sambil merengek seperti mau menangis, "Eh, eh. Selow, Kang. Selow laaah ...."

"Aku kan tertinggal, Kang," lanjut Mahbuh berekspresi cemberut.

Satu telunjuk mengarah tepat di depan hidung Mahbub. Daffa menuduh, "Kamu ikut takziyah cuma mau nyari duit, ya? Hayo!"

"Hus! Sembarangan, ih, Kang Daffa mah. Nggak lah," elak Mahbub tak terima. Ia berusaha mengalihkan wajahnya ke arah lain, kalau-kalau ekspresi wajah aslinya ketahuan. Ya, sebenarnya ada benarnya juga sih atas tuduhan Daffa. Tapi ia pura-pura mengelak. Eh, nggak-nggak, aku nggak punya niatan begitu, gumam hatinya berbicara.

"Terus mau ngapain?"

"Ya, mau ikut solat jenazah lah. Bukankah Almaghfurlah Akang juga dulu begitu, beliau sering takziyah terus ikut solat jenazah juga. Sehingga ketika beliau meninggal banyak sekali yang hadir, menyolati dan mendoakan. Aku ingin meneladani sikap baik beliau, Kang," jawab Mahbub panjang kali lebar kali tinggi.

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang