Barokah Sang Guru

1.6K 49 6
                                    

Cerpen 4

Oleh : Iqbal Syarifuddin Muhammad

" Barokah Sang Guru "


Mataku berubah terserang kabut bening. Terasa perih namun tak mampu kukeluarkan bening-bening air didalamnya. Hanya terasa desakan kuat menyuruhku untuk menumpahkan bersamaan sesak di dada, sebelum ketakutan itu bear-benar menghancur-leburkan benteng pertahananku selama ini.

Kembali, memori kejadian sore tadi berkelebatan di pelupuk mata. Sosok lelaki paruh baya berwajah teduh dan pemilik rambut berwarna kapas itu, ah... membuatku menahan nafas berat. Kata-kata bernada lembutnya terngiang-ngiang lagi di telinga. Memaksaku untuk menahan laju sengat ketakutan ini, merapatkan kembali sarung yang membungkus seluruh tubuh.

"Sampean pernah ngaji Al-Fiayah kan? Wis sampai khatam pula. Kebetulan sekali pengajar pasaran ilmu alat –kitab Al-Fiayah Ibnu Aqil ndak bisa mengisi pasaran mulud tahun ini. Ada hajat penting katanya. Nah, mumpung sampean sudah punya sanad, mau ya jadi badal beliau. Pasaranya mulai hari minggu ba'da asar dan dhuha." Titah beliau seraya tersenyum lembut. Tetapi cukup membuatku terbelalak, tak percaya akan pendengaran yang kumiliki.

Aku mengehela nafas berat. Menggeleng kepala keras-keras, mencoba mengusir bayang-bayang itu. Ah, hanya membuatku semakin terpuruk.

Jika saja beliau bukan sosok Kyai agung yang harus kuhormati, bukan teman dekat Bapak saat mondok di Kaliwungu dulu, juga bukan seorang 'alim (guru) yang barang tentu harus kusegani.

Jelas sekali! Sudah kutolak mentah-mentah titahnya. Tak perlu berfikir dua kali, hanya membuatku pusing. Tapi ternyata takdir berkata lain. Tanpa sadar menuntunku menuju pusaran itu, menyuruhku mengangguk lemas bertanda setuju serta tersenyum kecut dipaksakan. Aku melangkah gontai meninggalkan griya beliau, persis seperti mayat hidup. Hampa dan kosong. Tak ada tenaga, yang ada ialah kecamuk ketakutan merongrong di sela-sela dinding hati atas jawaban finalku itu –beberapa puluh menit yang lalu.

Sungguh bukan berarti aku tidak gentle atau cemen mengahadapi titah agung beliau. Sebab saat aku sudah lama nyantri di pondokku di kawasan Cirebon Barat, tak asing titah-titah dari sang guru menerpaku dan kutunaikan dengan baik. Tapi situasi sekarang amat berbeda, ini masalah harga diri. Aku malu, belum pantas kutunaikan. Disamping karena aku merasa masih bodoh, belum menguasai secara penuh ilmu nahwu-shorof. Jangankan yang masih dasar ditingkat Jurmiyah. Apalagi ini nadzom Al-Fiyah Ibnu Malik seribu bait. Haduh... ya, meskipun pernah kukaji sampai khatam. Itupun dua tahun yang lalu. Dan selanjutnya tak pelak aku memuthola'ahnya lagi.

Tiba-tiba aku merasa malu pada diriku sendiri. Sekaligus menyesal amat-sangat. Mengapa selama nyaris tujuh tahun menjadi santri, aku tidak seratus persen serius mengaji-belajar mencari ilmu. Menjadikan seluruh waktu dalam sehari kugunakan untuk belajar, memuthola'ah pelajaran yang sudah dipelajari, mengahafal-memahami dengan giat. Jika begitu mungkin skenario beberapa puluh menit yag lalu akan berbeda 1800. Aku akan amat enteng menerima titah Abah tanpa harus berfikir dua kali.

Tapi nyatanya, lagi, rupanya takdir berkata lain. Aku harus menelan mentah-mentah penyesalan-penyesalan ini. Lantas berfikir lebih bijak menghadapi kenyataan yang ada. Termasuk menerima seberapa besar ilmu yang kini kumiliki.

Namun lagi-lagi ketakutan itu menyergap jiwa. Fikiran jahat menyesakki otakku. Aku mendesah. Allah... Aku belum siap. Seketika bayang-bayang wajah bapak sebelum kakiku melangkah pamit meninggalkan rumah hendak menuju pesantren yang ditunjuk Bapak hadir, sedikit mampu menenangkan hatiku.

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Where stories live. Discover now