Pelet Santriwati

372 17 2
                                    

"Aku nggak mau lah. Nggak berani. Sampean bae, ya, Mas," Rajuk Diki kepada seorang santri bertitle pengurus pendidikan, yang kini tampak sibuk membulak-balikan halaman kitab kuning sambil senderan di teras.

Dimas memutar bola matanya, malas. Sekejap ia menatap teman di sampingnya itu dengan tatapan heran. "Emang kenapa, sih? Kenapa nggak kamu aja? Kan itu amanah kanggo sampean jeh. Kok ngalihin ke aku."

Diki mendecak, "Belum jadi amanah, Mas. Aang minta aku atau nyariin siapa saja yang bersedia ngajar di pondok sana."

"Terus? Kenapa nggak kamu aja?"

"A ... Aku nggak berani, Mas. Mental aku masih cetek. Kamu aja, ya, ya?" pinta Diki lagi seraya menarik-narik kaos Dimas. Sedangkan senyumnya berusaha ia kembangkan sempurna, sebagai wujud strategi permintaan yang tak boleh ditolak.

Kening Dimas berkerut, seperti tengah berpikir keras memutuskan jalan hidupnya akan bagaimana. Ia mendesis layaknya ular, "Hmm ... Gimana, ya?"

Jawaban terakhir Dimas mampu membuat tulang-tulang milik Diki lemas tanpa zat besi. Ya, hanya gelengan pelan saja. Dan satu kalimat pendek, "Nggak."

Diki sudah mau putus asa, sebab tak ada pengurus lagi yang bersedia memenuhi amat Kyainya yakni mengajar ngaji di Pondok Raudhatul Jannah, sarangnya para santriwati penjelmaan bidadari dari kolong langit. Entah sebab apa mereka pada enggan, mungkin karena tak kuat iman kalau-kalau kepicut sama santriwati di sana. Atau mungkin lebih horor dari itu, yang tak perlu diungkapkan dengan jelas, cukup lewat bisikan saja.

Diki sendiri sama sekali menolak, alasannya cukup satu, belum berani mengajar di depan santriwati yang kisaran umurnya menginjak kepala 20an. Yang menjadi heran adalah kenapa ketika amanat seperti ini dijalankan di pondok lain selain pesantren Roudhotul Jannah, semuanya fine-fine aja. Ada apakah gerangan dengan penghuni pondok putri tersebut?

Lelaki berkemeja kotak-kotak itu kembali bangkit, ia mencoba merajuk ke teman-teman sepengurus yang lain. Dan hasilnya tetap sama, mereka pada menolak. Kalau sudah begitu mau tidak mau dirinyalah yang harus menuruti amanah Sang Kyai.

Eits, perjuangan Diki ternyata belum berakhir. Sebelum lelaki berbadan semampai itu hendak merengek-rengek di lantai kantor. Seorang penyelamat muncul.

"Wis, kita bae. Kita baelah, baka laka sing gelem mah. (sudahlah, saya saja. Saya sajalah, kalau nggak ada yang mau sih)," seru seorang pengurus bersetelan jas hitam, yang tiba-tiba muncul tak terduga.

Wajah Diki sumringah, ia langsung menyerbu lelaki itu. "Seriusan, Husein? Ikhlas kan maunya?"

Husein memutar bola matanya, malas. "Ikhlas iku ora usah up date status. (ikhlas itu tidak usah up date status)," ucapnya dengan nada ditekankan.

Dan selanjutnya Diki malah selebrasi layaknya pemain bola yang sudah ratusan tahun tak pernah mencetak gol. "Yeaaaahhh ... Gue berhasil, Gais. Yuhu ...," teriaknya mengalahkan suara cempreng serangga malam.

"Emang pada kenapa sih, amanah dari guru kita kok ditolak gitu aja?" tanya Husein seraya duduk di kursi, lalu menyulut sebatang rokok dan menyesap asap itu pelan-pelan.

Rizal berkaca pinggang, "Bukan berarti kami nolak, Sen. Kalau ada yang lebih baik dari kita, kenapa tidak?"

"Sampean nggak tahu juga sih, gimana ngajar di pondok itu," seloroh Nawaf yang duduk selonjoran, ia menatap Husein tak suka.

"Pada bae kan, intine nyampeakeun ilmu. Jare sapa kah, ya, kalau kita diminta sama Guru iku gudu gelem. Aja langsung nolak bae. Masalah bisa beli bisa mah, ya, apa jare engko. Sing penting nerima disit amanahe. Sing manut. Piwe, sih, masa ora ideung. (sama saja kan, intinya menyampaikan ilmu. Kata siapa, ya, kalau kita diminta sama Guru itu harus mau. Jangan langsung nolak saja. Masalah bisa nggak bisa, ya, itu urusan nanti. Yang penting menerima dulu amanahnya. Yang nurut. Gimana sih masa nggak ideung)," semprot Husein panjang kali lebar, sok menceramahi. Lantas ia begitu saja melenggang pergi.

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Where stories live. Discover now