Dear Alfiyah

896 21 0
                                    


Cerpen 6

Oleh : Iqbal Syarifuddin Muhammad

" Dear Alfiyah "

Dear Alfiyah,

Dalam dekapan angin senja sore ini, kuberanikan diri menyentuhmu lagi. Dengan tangan bergetar, sebab aku merasa gugup dan terharu, sudah sekian lama kita berpisah tanpa kabar menjarah satu sama lain. Bahkan angin senja yang biasa menemani kebersamaan kita pun tak menemukan jejak-jejak kepergian kita. Hingga skenario hidup menyimpulkan bahwa kita berpisah, entah sampai kapan takdir kembali mempertemukan kita berdua.

Ada banyak denyar-denyar rindu menyesakki dadaku, Alfiyah. Ibarat air, meluber melebihi kapasitas ukuran wadahnya. Tanpamu hidupku terasa hampa, meninggalkanmu jiwaku terasa merana dan lenyapnya dirimu dalam ingatanku membuatku tersiksa. Kau mencuri sepotong hatiku, sungguh. Aku harus bagaimana Alfiyah? Untuk mengingat kembali seluruh bagian yang ada pada dirimu, yang dulu pernah menyatu bersama dalam otak dan jiwaku. Hanya beberapa bagian saja terasa mencuat setiap kali orang-orang mendendangkannya, itupun timbul-tenggelam. Dan efeknya ialah emm... aku merasa berdosa, Alfiyah. Resah, gamang dan sesal. Menjumput diujung-ujung jiwaku.

Dan sore inilah takdir seperti tak kuat memisahkan kita. Nyata! aku bisa kembali menatapmu penuh cinta. Menyentuhmu penuh rasa dan mendekapmu sepenuh raga. Biarkan angin senja yang tak henti membelai-belai pucuk-pucuk daun padi menjadi saksi bisu pertemuan kita. Juga lembayung senja keemasan di ufuk sana, burung-burung beterbangan menuju sangkarnya dan segala yang ada di sekeliling kita. Sungguh, aku tak merasa malu, bahkan jika semua orang melihat keintiman kita berdua. Tak perduli, sebab rasa malu itu terkubur sudah oleh denyar-denyar rindu yang terus menerus menjilat-jilat dalam wadahnya.

Jika orang lain bertanya padaku tentang sosokmu. Izinkan aku mendeskripsikamu, Alfiyah. Engkau itu seumpama ratu di antara sekian banyak ratu. Tak ada seniman terhebat di dunia ini yang mampu mengukir setiap inci keindahanmu. Matamu bagaikan dua buah intan yakut, bening, indah dan menyilaukan. Hidungmu melengkung sempurna mengalahkan indahnya hidung ratu Cleopatra. Bibirmu amat ranum, lebih ranum dari manisnya delima. Kulitmu melebihi halusnya sutra, putihnya susu dan kenyalnya jeli. Wangi tubuhmu melebihi wangi minyak kesturi. Rambutmu, bentuk tubuhmu, akh... aku tak mampu lagi menggambarkanmu, Alfiyah. Lidahku kelu untuk meneruskan berkata-kata tentang sosokmu. Bahkan mungkin otakku akan mendadak error jika kupaksakan.

Aku masih ingat pertemuan pertama kita. Pertemuan yang sudah direncanakan oleh guruku dan saa itu aku sungguh membencinya, muak mendengarnya. Lebih baik aku berlari menjauh bersembunyi hingga tak menyisakan jejak sedikitpun biar orang-orang tak menemukan keberadaaku. Ketimbang harus bertemu denganmu dan malah kuprediksi pertemuan itu akan terus berlanjut, uhm... semacam hendak melangkah menuju gerbang pertalian suci, yang wajib fardu 'ain terjadi. Tetapi aku mengalah karena aku sedang berhadapan dengan sosok terhormat, kubuang jauh-jauh ego dan fikiran buruk tentangmu. Dan aku menuruti segala titah guruku, sebab hatiku tiba-tiba berbicara "Bukankan ta'dzim kepada guru itu menjadi bekal terbukanya kemanfaatan dan kebarakahan ilmu pada setiap jiwa-jiwa muthollib?"

Di awal-awal aku mengenalmu dan mulai menelusuri segenap yang ada padamu, aku bosan, aku malas, aku tak kuat, otakku hampir pecah, sungguh. Entahlah kenapa, tapi guruku terus menyuruhku meneruskannya hingga seluruh jiwaku menyatu denganmu.Hingga mendadak munculnya berbagai anak pertanyaan mencuat begitu saja, mencoba menggoyahkan benteng hatiku. Apa tujuan sebenarnya guruku menitah demikian? Untuk apa aku menyelami segenap yang ada padamu? Bermanfaatkah? Barakahkah? Bukankah realita yang ada dan bisik angin mengumumkan bahwa ketika sudah terjun di masyarakat engkau sudah tak berlaku lagi, tak ada peminatmu lagi. Jangankan mengenalmu lebih jauh, mendengarkan namamu saja terasa hambar, engkau seperti tertelan bumi, tak ada namamu dalam daftar catatan sejarah.Bukankah demikian? Akh, kalau begitu untuk apa aku susah payah hingga berdarah-darah menyelami apa yang ada padamu, Alfiyah? Ada banyak lika-liku nafas kehidupan lainnya yang lebih jelas bermanfaat. Sama sekali semakin aku tak tertarik padamu, walau ternyata banyak sekali orang-orang menggilaimu, juga mencoba menyelam segenap yang ada padamu.

Dalam kubangan jiwa kegamangan guruku kembali menuai untaian kesejukkan.Entah kenapa kali ini jiwaku mendadak bergetar, dinding hatiku serasa mengeluarkan suara-suara aneh, keringat dingin mulai membasahi inci tubuhku –malam itu. Saat beliau berkata-kata begini "Kita tak boleh semudah membalikan telapak tangan, memformat sendirikemanfaatan dan kebarakahan suatu ilmu. Sebab keduanya itu amat misteri.Hanya Allah yang berhak menentukan berbagai jenis dan bentuk keduanya. Dan pasti segala yang bersumber dariNya akan bermuara pada kebaikan. Jadi kalian tidak perlu takut atau khawatir jika tatkala di masyarakat si Neng Alfiyahmu tak kunjung orang lain datangi semacam pengajian disini. Lha, kan jadi paham senandung Barzanji saja sudah termasuk kemanfaatan dan kebarakahan ilmu."

Begitu kurang lebih beliau berkata-kata.Sungguh seketika itu juga hatiku serasa tersirami embun kesejukan dari langit, menciptakan cahaya semangat dan menguapnya segala keburukan yang tersimpan dijiwaku. Seperti kutemukan sepercik nyala cinta padamu, Alfiyah. Tak sabar aku mampu menyelami segenap yang ada padamu sampai kedasar-dasarnya, supaya aku bisa merasakan wujud nyata kata-kata beliau malam itu. Kata-kata bernada meyakinkan serta beraroma nafas ilmu kehidupan.

Orang-orang mengatakan, bahwa cinta dapat membutakan sang pemiliknya. Kurasa ungkapan itu benar sebab aku tengah mengalaminya, Alfiyah. Ya, aku cinta padamu Alfiyah. Setiap waktu engkau selalu kubawa, kudekap, kucium, kuselami sedikit demi sedikit, dan kurasuki hingga engkau benar-benar menyatu dalam jiwaku. Layaknya muda-mudi zaman sekarang yang tengah dimabuk cinta, kencan ialah hal yang paling lazim harus dilakukan. Akupun begitu, yang membedakannya adalah seluruh waktuku lah kumaknai dengan ungkapan kencan. Dan tatkala senja merangkak pelan di ufuk sana, pasti akan kuhabiskan berdua denganmu dipinggir pematang sawah. Menatap seburat keemasan, belaian sejuknya tamparan halus angin senja serta ditemani kicuan burung-burung melintas diatas hamparan permadani menggelap.Sungguh moment yang paling istimewa saat itu, Alfiyah.

Alfiyah, seperti yang kita ketahui di dunia ini tak ada yang mutlak abadi, karena setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Perpisahan akan benar-benar bermakna berpisah tanpa ujung hanya tatkala manusia menginjakkan kaki ke dalam pintu surga atau neraka na'udzubillah. Tatkala masih berada di dunia, ungkapan itu belum berlaku.Yang benar adalah menginjak dan memulai pada fase atau kehidupan berikutnya, sebab di dunia roda kehidupan selalu berputar tanpa henti.Akupun mengalaminya, Alfiyah. Mengapa usai kuselami apa yang padamu sampai jiwaku menyatu dengan jiwamu perpisahan itu menyapa perlahan? Ya, walau di akhir tahun syukuran sakral atas kebersamaan dan keberhasilan kita, berlangsung amat meriah.Tapi aku tahu, itulah tanda-tanda perpisahan kita. Karena beberapa bulan selanjutnya guruku kembali mempertemukanku dengan sosok yang lain, Alfiyah. Dan ini sama seperti waktu itu fardu 'ain. Aku harus bagaimana, Alfiyah? Manutkah terhadap titah beliau? Atau malah menghindar saja? Tapi ini titah sang guru, Alfiyah!

Dalam deraian air mata di penghujung malam, sebelum benar-benar berpisah kuciumi, kudekap, kupeluk engkau penuh rasa cinta. Aku berjanji tak akan melupakanmu meski kita harus berpisah, dan jejak-jejakmu pupus dalam ingatanku. Aku akan selalu menyimpanmu dalam bingkai kenangan indah di antara langkah hidupku selama ini –bersamamu. Engkau akan tetap menjadi bagian dalam hidupku meski sosok yang lain menggantikamu. Lain dari pada itu aku akan selalu ingat siapa penciptamu sebenarnya, yang mampu menumbuhkan rasa cinta pada segenap makhluk yang mengenalmu lebih jauh.

Alfiyah, tahun demi tahun waktu bergulir.Dan ternyata kita telah berpisah sangat lama, entahlah berapa tahun mengumumkan.Yang pasti saat ini aku mulai merasakan kebenaran nyata dari ungkapan guruku waktu itu, sesaat ketika rasa cintaku padamu muncul kepermukaan.Kini, saat aku sudah berbaur dengan segenap masyarakat. Tarnyata benar kemanfaatan dan kebarakahan suatu ilmu itu misteri, terlebih akan bentuknya, berbeda-beda. Dan itu sesuai porsinya, keadaan kitanya. Termasuk di dalamnya ialah aku pernah mengenalmu amat jauh sampai jiwa kita menyatu dalam diam.

Akhir kata, aku berpesan dalam bisiknya angin senja ini. Tetaplah menjadi jiwamu sesungguhnya, bersyukurlah engkau di kagumi banyak orang, digilai-dicintai banyak orang. Sebab aku yakin setiap orang yang mengenalmu, terlebih sudah menyatu dalam jiwa. Tanpa sadar ada banyak kejutan-kejutan tak terduga menyapa tanpa disangka.

...

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora