Denyar Sombong Lelaki Berjanggut Tipis

2.6K 71 6
                                    

Cerpen 2

Oleh : Iqbal Saripudin

" Denyar sombong lelaki berjanggut tipis "


Udara membisikkan dingin, disela dedaunan yang tersepuh oleh bias cahaya senja. Jalanan nampak tersapu penuh titik air dari langit, membekas genangan di beberapa bagian jalanserta tercium aroma khas tanah membasah sejauh mata memandang. Tak perlu bertanya kapan langit memuntahkan deras air mata, sebab kini langit masih terlihat bermuram durja meski bias cahaya senja mengintip malu diantara hamparan permadani kelabu.

Membasah. Semuanya membasah. Ya, seperti halnya sebongkah hati Lelaki berjanggut tipis itu dengan sebuah peci putih menutup rambut hitamnya. Ia merasa ada pergumulan jiwa yang mematutnya untuk tetap berdiri membisu dibalik sebuah pohon rindang samping gerbang desa. Namun berkali-kali desakan kuat di dasar hati memaksanya untuk segera mengayuh langkah. Lagi, tak ada daya selagi hatinya semakin membasah, menciptakan riak buliran hangat di kedua sudut matanya. Lantas buliran itu meluncur deras, menganak sungai. Sementara itu lamat-lamat pelupuk matanya serasa menyaksikan kembali kejadian memilukan lima tahun silam.

Lelaki berjanggut tipis itu menunduk, merapatkan jaket coklat yang membalut baju panjang putihnya. Ia hendak mengusir udara dingin yang bercampur dengan hangatnya anak sungai di kedua belah pipinya.

Lima tahun silam, kejadian yang tak akan pernah sirna di memori kepalanya. Ya, saat ia masih berjibaku dengan jubah kesombongan. Tapi sungguh jangan sepenuhnya kau manyalahkan ia, sebab sejatinya ia hanya merasakan lirih denyar-denyar sombong itu. Itupun selalu saja terasa timbul-tenggelam dalam jiwa, hingga sama sekali ia tak sadar.

Sore itu ia melangkah mantap –penuh percaya diri– memungguk sebuah tas di punggung dan sebuah kardus berisi kitab-kitab tebal. Lima jam lalu ialah sebuah perpisahannya dengan segenap penghuni penjara sucinya. Selama tiga tahun penjara suci itu telah menjadi saksi bisu atas keberhasilannya menjadi sosok pemuda cerdas –benih ulama agung. Bahkan ia dijuluki sebagai titisan perpustakaan berjalan. Satu-dua komentar beberapa santri menimbulkan seringai lembut di ujung kedua bibirnya. Ada rasa syukur yang tercipta.

"Pantes lah, kalau dia mau boyong meskipun baru mondok tiga tahun. Lha, wong kemampuan ilmu agama tak perlu diragukan lagi. Bahkan mengalahkan santri-santri senior yang sudah mondok nyaris dua belas tahun lebih."

"Betul sekali itu. Dia cerdas, Kawan. Hafal diluar kepala nadzoman ilmu nahwu-shorof. Kudengar kemarin malam dia menyetorkan hafalan Al-Fiayahnya bolak-balik. Dia pandai membaca kitab apa saja, sekalipun itu kitab belum terjamah olehnya. Ilmu fiqih, tauhid dan akhwat-akhwatnya, Subhanallah... . Nah pabila kau bertanya apa saja padanya seputar ilmu agama. Dia akan menjawab mantap –penuh keyakinan– laksana seorang kiai agung. Dan kau tak perlu terkejut tatkala dipenghujung malam, tepatnya di sudut masjid. Telingamu menangkap lantunan lirih berbagai gayamurottal para Syaikh agung, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an."

"Sebentar, mungkin saja dia mendapatkan ilmu laduni."

"Hmm... bisa jadi."

Saat telinganya menangkap tak sengaja percapakan ketiga santri itu, ia menghela napas panjang. Seakan hendak mengalirkan desir syukur di sela-sela hembusan nafasnya.

Tatkala senja semakin merangkak pelan dan samar-samar mulai terdengar lirih adzan maghrib dibeberapa pucuk menara masjid dan mushola. Lelaki berjanggut tipis itu bergegas mencari mushola terdekat. Lantas menanggalkan barang bawaannya serta beranjak mensucikan diri, bercampur baur dengan masyarakat di desa itu yang juga hendak melaksanakan panggilan alam.

Lima menit kemudian solat maghrib mulai ditegakkan. Dipimpin oleh seorang lelaki paruh baya yangmemiliki rambut berwarna kapas. Lelaki berjanggut tipis itu mengambil posisi solat di shaf kedua dari empat shaf laki-laki.

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Where stories live. Discover now