Rezeki Mauludan Dari Langit

274 15 0
                                    


REZEKI MAULUDAN DARI LANGIT

Oleh : Iqbal Saripudin

Mau bagaimana lagi? Ia harus ikhlas dan tabah menerima tiap lontaran ejekan dari teman-temannya. Tak perlu meladeni serius, apalagi merajut amarah di wajah. Ia tahu mereka hanya ngeguyon, abaikan saja. Namun tetap saja terkadang emosinya tersulut, batas kesabarannya telah melewati batas finis. Ya, ia pasti akan ngamuk, melipat wajah dan jadi dingin membeku.

Tentu ejekan itu bersumber dari kebiasaan buruknya; selalu tertidur pulas tiap kali duduk diawal pengajian hingga bubar, menyisakan ia seorang yang nampak seperti pohon tertiup badai tersendat-sendat, entah saking apanya coba? Dan ia tak bisa menolak, sebab ah... tubuhnya butuh sekali istirahat, arwahnya langsung saja berkelana di alam mimpi.

Seperti sore ini lagi-lagi ia terkantuk-kantuk dipojok kelas pengajian. Sementara yang lain sibuk menggores pena di atas kertas kuning, menyimak tiap lontaran kata sang guru. Entahlah, mungkin ia tak punya gendang telinga atau lubang telinganya tercocoki kapas. Tapi di akhir pengajian ia terbangun, ya saat mendengar akhir salam sang guru.

"Huuuuu... kebiasaan buruk tidur saja kau," ledek temannya berkaca mata. Ia abaikan.

Kemudian Faizal mendorong pundaknya keras, sampai terjatuh kesamping, ia berkoar tajam, "Dasar nauman. Tukang tidur. Kemana aja sih lo dari pagi? Ngelanggar aja ya keluar. Huu.. tiap pengajian tidur."

Ia hanya menatap sekilas sengit ekor matanya.

Faizal kembali meneruskan, "Hei, melek coba melek. Lo nggak inget nanti malam ada acara spesial? Marhabanan coy, marhabanan. Menyambut kelahiran Nabi kita. Lha, sampe lupa tho? Yah, tak apa lah wong nanti juga lo pasti tidur pas marhabanan. Ya dengan mulut mangap kayak ikan lele. Eh, salah ding. Salmon maksudnya, huuu..." lagi, Faizal mendorong tubuh teman sepantarannya itu –gemas dan pergi begitu saja tanpa lupa ngomel-ngomel layaknya ibu-ibu cerewet nagih utang.

Ia berfikir sejenak. Mengoneksikan pendengarannya, lalu mendengus kesal, "Awas saja kau, Faizal. Kau yang bakalan ketiduran pas nanti malam. Dasar mulut ibu-ibu cerewet! Hmm... tidurku tadi kan buat nanti malamnya bisa melek. Yah, menyambut muludan,"

Sebelum bangkit ia berdo'a dalam hati, "Allah, melekkan mataku nanti malam. Aku ingin bertemu RosulMu, ya pliss."

***

Malam itu merupakan malam yang paling ditunggu-tunggu segenap kaum muslimin di seluruh dunia. Malam kelahiran Rosulullah, dua robiul awal. Sebuah malam yang agung, mulia dan penuh barakah. Khususnya ialah negara Indonesia yang notabenenya islam nusantara, biasa dikenal dengan istilah muludan dengan berbagai tradisi tiap pelosok negeri.

Pondok Raudatul Jannah salah satunya, para santri tak ketinggalan mempersiapkan penyambutan dengan suka cita. Panggung sederhana nan meriah nampak berdiri kokoh disebelah selatan ruangan masjid, bermacam pernak-pernik, hiasan kaligrafi serta kertas berwarna-warni menghiasi langit-langit. Selain yang lebih penting dari itu ialah menata hati, penuh syukur dan menghayati kelahiran sosok bercahaya beratus abad silam.

Ia pun mencoba menelaah lebih jauh sosok itu, khususnya dalam hal bagaimana berprilaku seperti Rosul. Dengan senyum merekah ia berbaur dengan para santri lain, tersenyum lebar saat terulang ejekan menohoknya. Terlebih hantaman ejekan dari si Faizal. Sebab bukankah Rosul tidak pernah membalas maupun menyimpan dendam terhadap ejekan, kekejian para kaum kafirin padanya? Seputih bersih tanpa noda sedikitpun lembaran hatinya. Maka kita sebagai penerusanya tentu harus bisa menyesuaikan perilaku baik beliau. Tak ada alasan lain dihatinya untuk mencoba lebih baik.

Tepat pukul setengah sembilam malam bangunan sakral itu hidup. Dipenuhi insan-insan bersenandung barzanji, menyambut Rosulullah. Sangat syahdu suasana malam, semua bersolawat, bersenandung, tepukan rebana ikut memeriahkan, semua menghayati seolah-olah merasakan Rosul hadir diantara mereka. Saking syahdunya beberapa insan berucucur air mata, terinsak-insak. Begitu pun yang dialaminya –si nauman, ia terhanyut dalam kubangan kebahagiaan, kesejukan, kesyahduan malam penuh barakah itu. Rosul serasa dekat sekali, terasa damai di dada hingga tak terasa bulir airmata meleleh menganak sungai.

Ya Nabi Salam 'Alaika... Ya Rosul Salam 'Alaika...

Ya Habib Salam 'Alaika... Sholawatullah 'Alaika...

Tapi tidak untuk sesosok santri dipojok utara bangunan masjid itu. Saat mahallul qiyam ia malam tertidur pulas. Menyender ke dinding dan berbantal tiang masjid. Sambil mulutnya terbuka, mangap besar sekali. Tak ubahnya seekor ikan salmon yang kelaparan ingin disuapi majikannya. Sungguh kasihan ia.

***

Mulut santri itu terbuka lebar sekali menghadap keatas. Waktu seakan berjalan slow motion saat tiba-tiba seekor kadal imut dari langit-langit mengeluarkan sebutir kristal hitam-putih dari balik ekornya. Kristal itu melesat lepas, turun begitu lambat, lambat sekali dan tepat sasaran. Plass... hinggap di sebuah terowongan berhembus angin tak sedap itu. Dan Plek... menempel. Lalu terowongan itu menutup dan menimbulkan suara nyam-nyam-nyam.

Ia tersadar saat digoyangkan serta koor beberapa santri menertawainya. Ada juga yang menjerit manja –jijik tepatnya. Hiiiii... makan malam sama ee kadal imut. Ya, seluruh insan kembali duduk usai mahallul qiyam, sementara santri itu ketinggalan masih terlihat berdiri menyender ke dinding, tertidur dengan mulut mangap. Selanjutnya ia buru-buru duduk, tapi tak ada rasa malu hadir. Karena jiwanya masih berjalan-jalan di alam mimpi. Sampai ia tidak sadar segala apa yang terjadi barusan, termasuk insiden kadal imut itu. Dan setelah duduk sila ia kembali menundukkan kepala, melanjutkan mimpi yang bersambungnya.

Temannya disamping mencoba menggoyangkan, "Hei, Faizal bangun. Kamu ikhlas menjadi si nauman baru?" Faizal tetap kokoh tak berkutik.

***

Sampai marhabanan selesai, satu persatu santri meninggalkan masjid dan lampu-lampu mulai dimatikan. Faizal masih khusuk dengan tidurnya –duduk sila sendirian.

Sosok yang selalu menjadi bahan ejekan itu mendekatinya, mencoba membangunkan, "Faizal, hei bangun. Marhabanannya sudah selesai, Rosulpun sudah pulang. Aku tadi bertemu dengannya lo. Hmm... kasihan sekali, sedari tadi kau tidur. Jadi kau pasti tak merasakan kesyahduan marhabanan tadi, seru sekali tahu aku sampai menitikan air mata haru. Huhu... apa kata aku juga, situ yang salah siapa suruh mengejekku terus. Baru nyaho kau akibatnya, belum lagi dengan insiden selain kadal imut itu. Eh, btw rasanya gimana Sal tu rejeki dari langit?" tak ada respon, hanya ngorok yang ia balas, "euh, dasar nauman al jadid!"

"Eh, astaghfirullah... kok aku berkata begitu. Maaf ya maaf ya, semoga kau tak dengar ya. Aku keceplosan. Huhu... selamat tidur, Kawan," ucapnya terahir, lalu pergi.

***

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Where stories live. Discover now