Hujan Cinta Dari Langit

601 14 0
                                    

B

ulir-bulir kristal bening itu tak hentinya jatuh lurus dari langit, berkroyok, deras, mencipta berjuta bahkan lebih tamparan keras ke setiap permukaan di bawahnya. Lalu, terasa dingin dan membasah. Aku mendengus sebal. Berkali-kali kedua ekor mata berkelakar kesana-kemari, mencari sosok penyelamat hidup semacam pangeran tampan nan tangguh atau ibu peri yang tiba-tiba datang membawa kabar gembira dan kemudian membawaku menerobos lorong hujan hingga sampai ke sebuah istana megahku. Sebelum gerbang istana itu benar-benar terkunci rapat, karena satu hal. Apabila jarum jam bertengger melewati angka dua siang. Jika tidak, maka akan berujung musibah menyedihkan. Ya, aku harus berhadapan dengan wajah-wajah sangar sang penjaga gerbang itu yang selalu so cool membawa sebilah rotan kemanapun mereka pergi. Uh, menyeramkan!

Kedua kakiku bergetar hebat dan rasa cemas merongrong jiwa. Hei! Tapi itu semua hanya akan menjadi mimpi di siang bolong begini pastinya. Mana ada coba? Seperti di film-film bergenre dongeng saja.

Tenagaku semakin melemah seiring perasaan sedih bercampur aduk dari detik ke detik. Kalau sudah begini, terpaksa aku harus menelan nasib bulat-bulat. Kuhela nafas berat, lalu duduk di bangku teras, memandang lesu ke depan serta membiarkan seluruh seragam sekolahku terjilati bulir-bulir kristal bening itu, juga angin dingin yang tak punya malu mengibarkan jilbab dan rok panjangku, genit sekali mereka.

Tiga menit berikutnya aku memilih menyandar kepala ke tiang teras di samping kananku. Membayangkan apa yang akan terjadi jika aku memang terlambat sangat masuk ke gerbang pondok. Ah, tapi kan aku punya alasan kuat, logis pula. Ya, karena tugas menggencat kehidupanku, sebab jika sudah masuk ke atmosfer penjara suci tidak memungkinkan untuk sekedar membuka buku tugas, eh hehe... ah tidak, pokoknya ini tugas kelompok dan harus kukerjakan bersama di luar. Teman sekelompokku sudah pulang semua dan suasana sekolah semakin dililit sepi, hanya segelitir siswa yang tampak mojok di beberapa sudut kelas.

Kring... kring... kring...

Suara klakson sepeda dari arah lapangan seperti hendak mendekat. Penyelamat hidupku kah? Argh, tidak mungkin. Aku abaikan dan tetap menyandarkan kepala ke tiang. Suara klakson sepeda itu lagi, terdengar tiga kali. Kali ini sepeda itu sudah memarkir tak jauh di depanku. Kulihat sekilas si pemiliknya ternyata seorang siswa lelaki berkaki jenjang, memakai swetter hitam serta sebagian tubuh atasnya terhijabi oleh payung. Sampai aku tak menyadari siapa sebenarnya ia, pangeran kah? Ah, waaahh... mataku berbinar. Dua detik selanjutnya ekspresiku berubah total, usai ia menyapa begini.

"Hei, Mbak. Nunggu angkutan lewat? Angkot? Nggak ada disini mah. Atau lagi nunggu gebetan kamu kah yang suka bawa motor ninja? Ah, dia sudah pulang bawa yang baru," tanyanya nyerocos layaknya tukang obat. Ternyata lelaki di depanku bukan pangeran impian, melainkan si musuh bebuyutan yang selalu membuatku kesal. Nizar namanya.

Aku membuang muka sebal, "Apaan sih? Gaje. Dasar ibu-ibu tukang gosip," kataku

"Apa? ibu-ibu? Ibu dari mana? Udah keren begini mirip oppa-oppa korea kan, kok disebut ibu-ibu, lha mata kamu dimana?" lagi, tanya Nizar bernada mengejek seraya ekor mata dan ujung bibirnya berekspresi so cool.

Aku mendelik sekilas dan kembali membuang muka tak peduli. Percuma kuladeni, ia tipe lelaki yang tak mau kalah. Hmm... hujan masih turun deras, seperti tak ada tanda-tanda untuk berhenti menjeda walau sejenak.

"Hehe... sori-sori just kidding," ia nyengir, "yuk! Ikut!" ajaknya sambil memberi isyarat dengan dagunya ke arah jok belakang sepeda phonic berwarna biru tua itu. Kali ini ekspresi bicaranya sedikit berbeda, lebih kalem.

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Where stories live. Discover now