Kaligrafi Terakhir

1.7K 28 1
                                    


Cerpen 5

Oleh : Iqbal Syarifuddin Muhammad

"Kaligrafi Terakhir"

D

alam keremangan senja, sejurus tubuhku terkesiap. Bergulat dengan desir keresahan yang mendadak menyulut jiwa. Hingga berkali-kali aku menegak ludah, debar jantung kian lebih cepat berdetak. Entah kenapa semakin lama tubuhku mematut duduk di tempat ini, semakin tak nyaman pula suasana hati. Lalu lalang beberapa santri berbalut pakaian solat sama sekali tak membuatku gerah, mengalihkan titik fokus fikiran. Pun lantunan sholawat nabi bersuara serak yang terdengar melengking menebar keseantro pondok. Tidak, sama sekali tidak mampu mengubur keresahan ini.

Dan kau tahu apa penyebab keresahan itu muncul?

Cukup mewakili tiga kata. Sepasang mata elang. Tepat diantara rerimbunan tanaman di taman samping kanan tempatku duduk –ruang tamu, sepasang mata elang itu sedari tadi seperti menatap-memperhatikanku. Awalnya aku tak peduli mungkin saja ia tengah memperhatikan beberapa wali santri di sekitar tempat ini. Namun kini keadaan berubah 1800. Hanya menyisakan seorang perempuan bergamis coklat berpadu dengan jilbab kremnya saja. Ya itulah aku. Dan pemilik sepasang mata elang itu masih tak beranjak menghilang. Sungguh dia sedang memperhatikanku dengan tatapan menyelidik.

Aku menahan nafas bersama menyatunya perasaan resah, cemas dan tak sabaran menunggu seseorang.

Seketika sosok yang kutunggu dan nyaris menggilas kesabaran menampakkan batang hidungnya. Aku berdiri mengepalkan tangan kanan.

"Miftaaaaahh... ." geramku gemas, "Dari tadi kakak nunggu kamu, kemana aja siiihhh? Deuuhhh... ." kutonjok lengan kanannya.

Lha, si empunya malah cengar-cengir, "He... he... biasa, Kak. Habis ngaji terus makan dulu." Ujarnya memasang wajah tanpa dosa.

"Kamu tuh ya, kalau ada panggilan di kantor pusat cepat bergerak. Malah enak-enakan nyantai. Kamu tahu berapa lama kakak menunggu kamu disini, heh?" kujitak kepalanya sambil melotot marah. "Kalau bukan adik sendiri. Sudah kulumat kau!"

Please! Bagaimana tidak marah dan kesal, sudah nyaris berjamur nih aku menunggu dia disini. Meminta pihak kantor pusat untuk memberikan pengumuman, sudah. Bertanya kesana-sini, sudah juga. Mereka menjawab bahwa pengajian tingkat tiga sudah bubar. Lha, si Miftah kemana?

Namun sejatinya, yang membuatku menjadi begini ialah karena kehadiran sepasang mata elang itu. Sangat menggangguku..

Volume suara kuturunkan, "Eh, Mif. Siapa sih orang yang lagi memperhatikan kakak?" tanyaku lirih tanpa berani menoleh.

"Mana? Dimana?" Miftah celingak-celinguk.

"Itu lho orang yang ada di taman samping. Siapa?" Aku hanya menunjuk.

"Mana? Nggak ada. Wah... wah bahaya nih. Baru nongkrong lama di komplek putra aja udah kege-eran. Udah nggak beres!" tuduh Miftah bernada mengejek. "Lagian siapa lagi yang memperhatikan perempuan berwajah galak terus. Beuuu..."

Aku tersentak. Abaikan ledekan itu. Kini kuberanikan menoleh kearah taman. Lha, benar tidak ada orang. Kemana sepasang mata elang itu? Perasaan dari tadi dia ada disana. Kuperhatikan kesekeliling, juga tetap nihil. Mungkinkah dia baru saja beranjak pergi saat Miftah datang.

Miftah kembali beraksi, "Mulai deh jelalatannya!"

Lagi, kutonjok lengan kanannya, "Diam kamu! Tadi tuh ada Mif orang yang terus memperhatikan Kakak disana. Mencurigakan banget tahu. Tatapannya itu lho seperti tatapan mata nakal. Eh bukan, mau ngerampok. Uh!" Aku mendengus kesal sambil kurogoh saku gamisku mengambil-menghitung beberapa lembar uang berwarna merah.

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang