Aku Ingin Menjadi Kopi

1.2K 17 0
                                    


Cerpen 9

Oleh: Iqbal Syarifuddin Muhammad

AKU INGIN MENJADI KOPI

Aku baru paham sekarang, ternyata aku adalah wortel. Bukan sebuah sayuran bervitamin A atau pun sebuah makanan kesukaan kelinci. Melainkan sesosok yang mengaku-ngaku sebagai diriku sebenarnya, menyatu dalam jiwaku selama ini dan tanpa kusadari. Bingung, tentunya itulah kesimpulan pendek sesaat sebelum kutemukan titik terang usai sebuah pertemuan tak terduga dengannya di suatu senja, tepatnya di depan cermin.

"Hei, kamu siapa?" tanyaku bingung bercampur kaget.

"Aku wortel. Senang bertemu denganmu. Dan aku adalah kamu," jawabnya tersenyum.

"Maksudmu?"

"Ya, kamu adalah aku yang sebenarnya," ucapnya terakhir, lantas menghilang begitu saja, meninggalkan jejak-jejak pertanyaan yang satu-dua mulai mencuat di otak. Dia wortel? Aku adalah dia? Maksudnya?

Ah, kepalaku berdenyut –pusing. Abaikan sajalah sesosok tak dikenal itu dan bergumul pertanyaan yang semakin menyesakki fikiran. Nanti akan kucoba cari tahu kunci titik terang maksudnya secara fleksibel, tanpa perlu berlarut-larut menguras otak. Walau aku yakin ia pasti akan menghantuiku di kemudian hari.

***

Sosok itu hanya sekali mendatangiku, namun secara perlahan mampu merubah maindset serta sikapku 1800. Endingnya aku akan tenggelam dalam perenungan panjang. Hingga titik kecil cahaya muncul semakin membesar di antara kegelapan jagat. Ya, kini aku sadar, aku adalah wortel. Aku adalah dia dan dia memanglah aku.

Ini terbukti usai berbagai cobaan atau aku sering menyebutnya kejutan memilukan, menghantam tameng keimananku yang semula tegak berdiri kokoh. Tepatnya ialah waktu itu aku amat yakin, optimis, tegar dan bersemangat sekali hendak merevolusi lembaran buku kehidupan gelapku, yakni dengan berani hendak masuk ke sebuah atmosfer agamis –pondok pesantren salaf. Di samping memang kedua orang tuaku nampak putus asa mengendalikan kenakalanku dan aku pun sudah amat bosan. Tak perlu bertanya bagaimana reaksi mereka menyambut keiginanku itu.

Namun baru beberapa langkah tangga kupijak, menghalau duri-duri berserakan, aku sudah KO. Berbagai kejutan memilukan menghadang di awal-awal laksana jutaan anak panah menghujan di langit lepas. Aku menjadi down dan terpuruk, tak kuat meghadapinya walau sekejap. Entahlah kenapa, yang pasti keadaan seperti ini yang kualami. Jangankan tertatih mengadaptasi diri, bernafas pun terasa sesak. Hingga tiga hari selanjutnya dua kali aku kabur dari pondok bak seorang buronan penjara, kembali ke rumah. Sekali lagi tak perlu bertanya bagaimana reaksi kedua orang tuaku selanjutnya.

Usai murkanya kedua sayap hidupku habis-habisan, di suatu senja sosok itu muncul di depan cermin, menyapa dalam gelap. Masih kuingat suara nyaringnya melengking gendang telinga, Aku wortel. Senang bertemu denganmu. Dan aku adalah kamu, kamu adalah aku yang sebenarnya.

***

Masih tenggelam dalam kubangan kegamangan, ayah memaksaku untuk kembali ke pondok tanpa peduli anaknya berteriak kesakitan di tarikya menghadap Sang Kyai. Baru dihadapannyalah tanpa sadar aku tertunduk kaku seiring tangis ayah terasa memekik telinga dan menghantam diding hatiku.

Hikmah dari kejadian saat itu berefek pada sikapku yang perlahan berubah, entah seperti apa sulit kugambarkan. Apalagi untaian nasehat bernada lembut dari sosok lelaki sepuh berambut kapas itu, mampu mengakar dalam otak serta menciptakan kedamaian jiwa.

Satu tahun berikutnya ternyata kejutan memilukan kembali hadir tanpa di sangka, terasa lebih mencekam sesuai dengan situasi dan posisiku kini. Kucoba amalkan nasehat dari guru-guruku supaya tidak kembali terperosok kedalam jurang yang sama, meski harus bersusah payah menahan tangis dan berontak suara hati. Dan kali ini yang tak kumengerti ialah efeknya aku menjadi pendiam, tertutup dengan siapa saja yang ingin mencampuri urusan. Dingin dan tak bersahabat adalah dua kata yang mungkin mewakili keadaanku kini, seiring masih terasa jelas kejutan memilukan itu terus mengiringi kehidupku. Lantas tiba-tiba sosok lain muncul di hadapan, bukan sosok yang dulu.

Pelangi Senja di Sudut Pesantren (Kisah-kisah Inspiratif khas kaum santri)Where stories live. Discover now