Chapter 21

3.7K 397 25
                                    

Setelah aku membeli dua gelas coklat panas, aku pun kembali melangkah untuk menghampiri Hyeri yang menunggu sendirian, tadi.

Sepatu Bootsku mulai menapak kembali di tanah bersalju tebal itu. Aku memandang coklat panas di tanganku ini.

Senyum tipis terukir di wajahku tanpa kusadari.

Bukan, bukan karna aku suka coklat panas atau aku senang melihat coklat panas.

Melainkan mengingat wajah seseorang yang akan meminum coklat panas di tanganku ini sembari tersenyum seperti anak kecil dan berguman 'neomu joha'.

Cute.

Kuhentikan sejenak pikiranku. Kemudian kembali memperhatikan jalan di depan.

Dari kejauhan bisa kulihat Hyeri masih duduk di sana. Menungguku 'kuharap'.

Namun, mataku menangkap sosok lain disana, bersama Hyeri.

Mereka saling berhadapan dan seketika mataku---tidak, sekujur tubuhku terasa panas.

Mereka berdua saling berhadapan di sana. Hyeri tersenyum sangat manis saat setelah pria itu mengelus puncak kepalanya.

Kupercepat langkah kakiku ke arah mereka.

"Ini coklat panasmu," ucapku sembari menyodorkan gelas itu pada Hyeri.

"Yo--yoongi ?" Ucap Hyeri terbata. Namun ia belum mengambil gelas di tanganku ini.

"Ambil ini," aku pun memberikan paksa gelas itu padanya.

Aku tidak tahu apa ini. Tapi aku benar-benar kesal.
Kesal melihat mereka berdua. Terlihat dekat dan,

"Aku akan pulang duluan, beritahu Jimin."

.

.

.

Author's Pov.

Lengkungan senyum di wajah gadis itu tidak pernah hilang dari kemarin---bukan karena ia gila---tapi ia hanya terus mengingat makan malamnya yang indah dengan orang yang ia sukai.

Mungkin tidak begitu romantis. Tapi ia cukup puas dengan makan malam yang ia anggap sebagai kencan.

Tidak ada hal istimewa seperti berpegangan tangan, mengelap sisa makanan disudut bibir apalagi mengungkapkan perasaan.

Tidak ada hal seperti itu. Tapi ia sangat bahagia bisa lebih dekat dan mengobrol sepanjang malam dengan pria itu.

Masih dengan senyum yang mengembang di wajahnya, ia menyusuri jalan pulangnya dengan dua kantong plastik besar di kedua tangannya.

Ia tampak kesulitan membawa barang-barang itu. Sesekali ia harus berhenti dan memperbaiki posisi pegangannya.

Semakin lama tangannya semakin ngilu karena berat benda itu. Senyumnya mulai terganti dengan raut kekesalan.
Ia terus mendecak kesal.

Benda itu begitu berat, apalagi di tengah keramain seperti ini. Ia harus cekatan saat berjalan agar tidak menabrak orang atau tidak ditabrak orang.

"Aish, jinjayo...," Satu kantong plastik terjatuh dari tangannya dan isinya berserakan, "Hei, dasar anak-anak nakal." Teriaknya sembari terus memperhatikan anak yang menabraknya, kini hilang di kerumunan orang.

Ia kembali memandang isi kantongnya yang berserakan. Umpatan-umpatan mulai keluar terus-menerus dari mulutnya.

Ia sangat kesal. Juga malu. Ditambah lagi, semua orang hanya memperhatikannya dan terkekeh pelan.

Miracle Love [END]Where stories live. Discover now