Angin malam

98 49 2
                                    

"Ini aku, ibumu, Cindy" kata wanita itu.

Aku langsung pergi dan sedikit berlari dari wanita gila yang baru saja mengaku-ngaku sebagai ibuku. Astaga, entah kenapa rasanya akhir-akhir ini selalu saja ada orang yang mengatakan aku bukan anak ibuku kandungku sendiri. Dan lebih parahnya lagi sekarang ada wanita gila yang mengaku-ngaku sebagai ibuku.

***

"Cindy!" Sapa salah satu teman sekelasku saat aku memasuki ruangan kelas.

"Tos dulu dong!" Pintanya yang berjalan mendekatiku sambil membuka lebar telapak tangannya. Aku balas menepuk telapak tangannya.

Orang tersebut tak lain adalah Valiant Couragues. Satu-satunya orang di sekolahku yang bersedia menegurku dan membuatku tak terlihat suram. Dia adalah orang yang paling diandalkan di kelasku. Tanpa dia kelas akan terasa sunyi dan jika dia tidak ada banyak oranh yang merindukannya. Kalau seandainya dia mengizinkan, aku sangat ingin menjadi sahabatnya. Satu hal yang tidak kusukai darinya. Dia selalu berusaha untuk menjodohkan aku dengan teman-temannya.

"Oh iya, Cindy hari ini ada tugas drama pelajaran sastra. Kita satu kelompok kan?" ujar valiant
gingatkanku.

"Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?" Sahutku sedikit acuh.

"Kita dramanya cerita tentang apa?"

"Ya terserah yang lain aja sih." Jawabku yang tidak ingin lama-lama berdebat dengannya.

Bel berbunyi penanda jam pelajaran sekolah telah selesai hari ini. Saat berjalan menyusuri korudor sekolah seseorang memanggil namaku. Akupun menoleh ke arah orang itu yang tak lain adalah Valiant.

"Cindy, kenalin ini temanku. Katanya dia mau minta alamat emailmu sekalian nanti kalau mau kenal lebih dekat lewat email aja." Ucapnya sambil mendorong seorang laki-laki ke arahku.

"Em...hai" sapa laki-laki itu kepadaku.

"Ah, maaf Val, aku lupa alamat emailku sendiri. Nanti saja ya." Kataku berbohong.

"Oh, yaudah deh kalau gitu. Hati-hati ya sampai ketemu lagi besok. Dadah.." ucapnya sambil berdadah-dadah ria.

Valiant sampai kapan kau mau begini terus, keluhku dalam hati.

***

Malam ini aku sedang mengerjakan tugas merangkum yang diberikan guru disekolahku tadi siang. Sungguh tugas yang merepotkan dan primitif sekali. Zaman sudah serba canggih seperti ini masih harus mencatat panjang lebar sampai menghabiskan banyak kertas padahal kertas itu terbuat dari pohon dan kalau banyak kertas yang digunakan sama saja dengan menebang banyak pohon. Kenapa tidak merangkum dengan menggunakan file word saja padahal di sekolahku hampir semua tugas selalu membutuhkan laptop. Aku yang sangat tidak suka menulis cuma mengerjakan seadanya sambil bermalas-malasan di atas kasur.

Tok, tok, tok! Terdengar suara ketukan pintu di luar kamarku.

"Masuk!" Sahutku pada orang yang mengetuk pintu.

Pintu terbuka dan masuklah Ronny asisten ayahku. Ah, pasti ada yang mau disampaikan ayahku.

"Nona Cindy, Tuan ingin bicara dengan anda. Nona disuruh masuk ke ruang kerja" kata Ronny menyampaikan padaku.

"Apa itu penting sekali? Kenapa ayahku tidak membicarakannya tadi saja saat makan malam? Dia bahkan hanya akan memarahiku setiap kali menyuruhku masuk ruang kerjanya." Ucapku bersungut.

"Oh iya, Ronny tolong bantu aku merangkum buku ini. Mana tahu aku akan lama berada di ruang kerja ayah, jadi sementara aku tidak ada kau lanjutkan pekerjaanku. Itu tugas sekolahku yang besok harus diserahkan" pintaku sambil membuka pintu

"Tapi nona Tuan pernah mengatakan jangan pernah membantu anda kalau tentang pelajaran..."

"Ah, kumohon bantulah aku sekali ini saja. Aku janji nanti akan membantumu berbaikan dengan mantanmu si Bella itu." Janjiku sambil memasang wajah memelas.

"Benarkah?"

"Iya aku janji. Kalau begitu aku keluar dulu ya." Ucapku yang langsung meninggalkannya.

"Ayah ada apa mencariku?" Tanyaku pada ayah yang duduk di kursi membelakangiku.

Ayah tidak langsung menjawab pertanyaanku. Beliau malah menyeruput minuman di cangkir sambil membaca laporan pekerjaannya dan itu membuatku kesal.

"Ayah!" Bentakku dengan nada kesal sambil memukul meja kerjanya.

Ayah pun memutar balik posisi duduk di kursi kerjanya ke arahku. Beliau meletakkan semua yang ada di tangannya ke meja kerjanya lalu berdiri dan berjalan menghampiriku.

"Apa? Ayah mau marah dan mengomel padaku kan? Ayo cepat katakan saja! Ini sudah malam dan besok aku harus tetap ke sekolah untuk menyerahkan tugas meskipun besok hari sabtu." Ujarku berterus terang.

"Cindy, Ayah bukannya mau marah padamu. Justru ayah tidak tahu harus bicara dari mana." Ucapnya menghela nafas.

"Sejujurnya hari minggu ini ayah akan menikah."

Deg! Aku terkejut mendengarnya sampai mau tersedak meskipun tidak makan ataupun minum. Aku harap ini cuma mimpi burukku atau lelucon konyol dari ayah.

"A..Ayah..ba..bagaiman bisa? Apa ini serius? " tanyaku tergagap.

"Ya, Ayah tidak bercanda" ucapnya cuek.

"Kukira Ayah masih mencintai Ibu. Bukankah ayah sudah berjanji. Kenapa pernikahannya harus begitu cepat? Tidak bisakah ditunda dulu?" Kataku sambil menunduk sedih.

"Tenanglah Cindy, ayah sudah pernah bilang padamu perempuan yang akan ayah nikahi adalah teman baik ayah. Dia sangat baik dan..."

"Sudah cukup bicaranya. Aku...aku pergi" kataku meninggalkan ayah sambil menyembunyikan air mataku.

Aku berlari menuju balkon. Aku menangis meluapkan perasaanku di sana karena sejak kecil aku tidak suka menangis di hadapan orang lain. Aku akan lebih senang memilih menghabiskan emosiku bersama semilir angin malam sendiri.

Bahagialah CinderellakuWhere stories live. Discover now