Chapter 2

14.5K 1.5K 30
                                    

Bulir-bulir keringat bermunculan di sekitaran dahi Dina, jantungnya pun berdegub kencang melebihi biasanya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah pria angkuh yang ia temui di lift pagi tadi tengah duduk di hadapannya dengan tatapan tajam, menebarkan aura mencekam.

Ya Tuhaaan.. padahal tadi ia sudah berdoa semoga tidak bertemu pria ini lagi selamanya. Kenapa sekarang mereka bertemu lagi?

Perhatian Dina teralihkan pada papan nama yang terpampang jelas di atas meja pria itu. Dibacanya seksama... lalu ia sampai pada kesimpulannya sendiri. Syukurlah, ia pasti salah ruangan. Karena ia mencari pak Tama, bukan si Galang angkuh ini! Tanpa mengucapkan apapun Dina langsung berbalik badan dan setengah berlari mencapai kenop pintu. Ia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini.

"Hey! Kemari! Kamu belum menyerahkan sketsanya" suara berat pria itu mengagetkan Dina, sekaligus menghentikan langkahnya.

"Ini bu-bukan untuk anda, ini untuk pak Tama. Sepertinya sa-saya salah ruangan" Dina menjawab dengan terbata-bata dan tanpa mau repot-repot berbalik badan menghadap pria itu. Tangannya kini memegang kenop pintu. Tinggal menekan ke bawah dan menarik ke dalam ia sudah pasti bisa keluar dari ruangan ini, menjauh sejauhnya dari pria itu.

"Benar-benar tidak sopan. Bicara pada orang lain dengan membelakanginya?" ucapan pria itu terdengar sinis di telinga Dina.

Tidak sopan??? Siapa yang tidak sopan?! Bukankah kata-kata itu lebih cocok pada pria angkuh itu? Tidak sopan karena sudah berani mengkhayal yang bukan-bukan dengan dirinya.

"Anda!!" Dina geram dan langsung berbalik badan menatap pria itu yang sialnya terlihat begitu... tampan. Duduk di kursi kebesarannya dengan salah satu tangannya mengusap jambang tipisnya sedangkan tangannya yang satu lagi mengetuk-ngetuk meja dan tatapan mata belo pria itu tepat mengarah pada Dina. Sungguh menawan.. tanpa sadar Dina membatin. Sudut bibir Dina perlahan terangkat. Sebelum membentuk sempurna menjadi sebuah senyuman manis, kesadarannya kembali. Ia cepat menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak-tidak-tidak! Ia tidak mungkin mengagumi pria itu. Pria yang sudah tidak sopan padanya! Bagaimana bisa ia terpesona hanya dengan melihat fisiknya saja dan mengesampingkan perilakunya? Hhhh!!

"Ngapain geleng-geleng? Bawa kemari sketsanya saya mau lihat" pria itu mengulurkan tangannya. Dina masih saja terpaku di tempat. "Bawa kemari!" ucap pria itu tajam, setajam tatapannya.

"Ah, ini..ini..untuk pak Tama bukan untuk anda" cicit Dina. Nyali Dina lagi-lagi menciut menerima tatapan tajam pria itu.

"Bukan untuk saya?" kedua alis pria itu terangkat menatap Dina. Dina mengangguk mantap. "Iya, sudah saya bilang ini untuk pak Tama" kata Dina sangat yakin.

"Tama itu saya, jadi bawa kemari!!"

"Nggak mungkin!!" jawab Dina cepat. Ditatapnya pria di hadapannya itu dengan tatapan tak percaya. Karena yang ada di benaknya wakil direktur perusahan adalah seorang pria berumuran sekitar empat puluh tahun.

"Jangan menguji kesabaran saya!!"

Dina terpekik kaget mendengar kemarahan pria itu. Namun apadaya, Dina tidak ada pilihan lain selain melangkahkan kaki mendekati meja pria itu. "Tapi namanya Galang.." gumam Dina yang masih bisa didengar jelas oleh pria itu.

"Apa saya harus menjelaskan tentang nama saya pada karyawan biasa seperti mu?" pria itu langsung menarik kasar map itu dari tangan Dina yang kini sudah berdiri persis di depan mejanya.

Dina mengangguk, namun ia menggeleng cepat saat melihat raut wajah pria itu yang semakin tak bersahabat. Nyali Dina semakin menciut saja setelah menyadari bahwa pria itu adalah wakil direktur. Lagian, sekretaris di depan ruangan itu kan tidak mungkin berbohong padanya yah? Hhhh.. ia saja yang terlalu mudah menyimpulkan sesuatu. Lebih tepatnya, ia ceplas-ceplos tanpa pikir panjang alias gegabah.

Hey Dina! ✔️Where stories live. Discover now